Saturday, May 22, 2010

BAHASA DAN RUMPAKA

(1) Bahasa
Unsur pokok yang terdapat dalam sekar adalah Bahasa dan Rumpaka. Bahasa yang dipergunakan dalam rumpaka lagu Sunda adalah bahasa daerah Sunda sendiri. Tahapan bahasa yang dipergunakan terjalin dalam bentuk halus sampai kasar, tetapi hal ini sangat banyak tergantung dari bentuk sekar dan tingkat lingkungan pendukungnya. Pada dasarnya lingkungan itu banyak bergantung dari cara mengungkapkan atau memformulakan rasa hatinya dengan gaya bahasa yang tersendiri. Sebagai contoh lingkungan Tembang Sunda dan KetukTilu dalam gaya bahasanya mempunyai beberapa perbedaan teknik pengungkapannya. Pada tembang cenderung lebih halus dan untuk mencapai tujuannya sering terselip makna yang terselubung, sedangkan dalam bentuk ketuk tilu sifatnya lebih terbuka untuk lebih cepat ditangkap isinya. Demikianlah faktor lingkungan terasamembawa pengaruh yang tersendiri, baik dari gaya bahasa maupun dari tingkat bahasa yang dipergunakan.

Dalam Kawih dan Kepesindenan, tingkat bahasa boleh dikatakan menyeluruh. Artinya dari bentuk kasar sampai halus dalam pengungkapan bahasa dari lagu-lagunya sering berbaur menjadi satu. Hal ini disebabkan oleh materi lagu-lagu yang dibawakannya. Dalam kawih atau Kepesindenan tidak terbatas oleh lingkungan karena sifat dari pergelarannya itu sendiri dituntut untuk bisa membawa lingkungan secara menyeluruh pula. Sebagai contoh dalam lagu-lagu sindenan pada pergelaran wayang golek, mulai dari rakyat biasa sampai kalangan istana, mendapat bagian untuk diketengahkan. Memang terasa pula ada kaitannya dengan “sejak” lagu yang dipergunakan. Misalnya dalam lagu rerenggongan dan lalamba. Rerenggongan banyak mengetengahkan tema yang lebih khusus dengan mempergunakan pupuh atau puisi bebas. Dalam lagu Kawih, terutama dalam sanggian baru, hampir praktis dengan puisi bebasnya, membawa pengaruh pada bahasa yang dipergunakan di antara bahasa seharihari dan halus.

Selain penggunaan bahasa bahasa Sunda, ada beberapa lagu yang tidak mempergunakan bahasa Sunda, umpamanya bahasa Sunda buhun (yang sudah kurang dimengerti artinya), bahasa Kawi, Bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa asing. Penggunaan bahasa Sunda buhun dapat kita temukan pada lagu-lagu Kaulinan Urang Lembur, misalnya pada lagu “Gala Ginder”, “Jung Jae”, “Angkat Sampeong” dan pada rumpaka lagu “Jangjawokan”
Bahasa Kawi yang termasuk Bahasa Jawa Kuno sering terdapat pada kakawen atau lagu-lagu lalamba pada sindenan serta pada lagu tembang tertentu. Contohnya : rumpaka pada lagu Kastawa.
Pengunaan bahasa Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, sebagai contoh pada Pupuh Durma dan lagu “Jeruk Manis” telah lama dikenal. Tapi kebanyakan memang hanya beranjak dari kreativitas perkembangan. Bahasa lagu dari sanggian Mang Koko banyak mengetengahkan bahasa Indonesia. Biasanya penggunaan bahasa Indonesia tidak diketengahkan secara utuh, tetapi lebih bersifat sisipan saja. Hal ini kita temukan dalam tema-tema humor dan tidak pada bentuk lagu-lagu yang serius. Penggunaan bahasa Indonesia secara utuh dalam lagu dengan dialek Betawi terdapat dalam Gending Karesmen “Nyai Dasimah”
Demikian pula penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Belanda, bahasa Jepang dan bahasa Inggris termasuk bahasa Arab mulai digunakan baik sebagai sisipan maupun secara utuh.
(2) Rumpaka
Pengertian Rumpaka secara singkat adalah kata-kata yang dipergunakan dalam sekar, tetapi ada juga yang menyebut Dangding atau Guguritan. Khusus mengenai dangding dan guguritan lebih dikenal di kalangan tembang. Para pesinden kiliningan atau wayang cukup memberi istilah kata-kata saja.

Penggunaan rumpaka tidak terbatas pada lirik atau syair saja, tetapi juga epik dramatik dan bentuk puisi lainnya termasuk juga bentuk prosa (prosa liris) masuk didalamnya. Pada perkembangan selanjutnya, sanjak bebas adalah bentuk puisi yang sangat banyak dipergunakan untuk lagu. Mengingat jangkauan yang luas dalam penggunaan rumpaka lagu Sunda, pengamat sastra cenderung menilai kata-kata dalam lagu disebut Sastra Lagu.

Bentuk bentuk sastra lagu yang biasa dipergunakan dalam lagu Sunda, antara lain:
2.1. Puisi
Bentuk-bentuk Puisi : Nyanyian mantra, Dongeng dan permainan anak-anak, Papantunan, jejemplangan, Dedegungan, Sanjak bebas lainnya.
Contoh rumpaka dari mantera:
Asihan aing si burung pundung
Maung pundung datang amum
Badak galak datang depa
Oray bari datang numpi
Burung pundung
Burung cidra ku karunya
Malik welas malik asih
Ka awaking

Curulung cai ti manggung
Barabat ti awang awang
Cai tiis tanpa bina
Mun deuk nyatru ka si itu
Mun deuk kala ka si eta
Anaking palias teuing

Contoh Rumpaka Pupujian:
Anak Adam anjeun di dunya ngumbara
Umur anjeun di dunya teh moal lila


Anak Adam umur anjeun teh ngurangan
Saban poe saban peuting dicontangan

Anak Adam paeh anjeun teh nyorangan
Cul anak salaki jeun babadaan
………………………………………

2.2. Sisindiran
Sisindiran adalah rumpaka yang sangat populer sekali pada pergelaran lagu-lagu kiliningan dan sindenan pada wayang. Begitu pula pada pergelaran lagu-lagu Ketuk Tilu sangat erat bersentuhan dengan lagunya. Kata-kata yang sama dalam sebuah sisindiran berulang kali dipakai dalam lagu yang berbeda-beda. Keistimewaan yang lain dalam penggunaan sisindiran dalam lagu sindenan adalah mengetengahkan beberapa sisindiran dalam satu goongan lagu. Hal ini banyak dilakukan para pesinden dengan jalan membabat sisindiran itu dalam lagu yang cepat. Dengan demikian, terkadang para pesinden bisa mengucapkan enam puluh suku kata dalam satu gongan yang hanya berjumlah enam belas ketukan saja.

Sisindiran terbagi dalam beberapa bagian, antara lain: Rarakitan, Paparikan dan Wawangsalan. Rarakitan bentuknya hampir sama dengan sebutan Pantun dalam sastra Indonesia sedangkan Paparikan bentuknya menyerupai dengan Talibun dalam sastra Indonesia.

Contoh Sisindiran:
Panon poe rek pamitan
Layungna beureum jeung kuning
Unggal poe seuseuitan
Nguyungna hayang ka kuring

Mawa peti dina sundung
Ditumpangan ku karanjang
Pangarti teu beurat nanggung
Tapi mangpaatna panjang

Teu beunang dirangkong kolong
Teu beunang dipikahayang

Nyiruan genteng cangkengna
Masing mindeng pulang anting

2.3. Kakawen
Rumpaka yang digunakan pada kakawen biasanya jarang mempergunakan bahasa Sunda. Pergelarannya lebih terbatas pada pergelaran wayang. Persyaratan puisinya sudah tak menentu lagi. Dalam pergelaran tembang sering digunakan istilah Sebrakan.

Contoh rumpaka pada kakawen:
Gedong duwur kari samun
Pagulingan sepi tingtrim
Pepetetan samya murag
Balingbing lan jeruk manis

2.4. Pupuh
Ada tujuh belas macam pupuh yang berkembang di daerah Sunda. Baik nama maupun peraturan dalam membuat pupuh berbeda satu sama lainnya, begitu pula tentang watak-wataknya. Walaupun jumlah pupuh ada tujuh belas macam yang sangat populer dalam penggunaan untuk rumpaka hanya empat yaitu : Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula (KSAD).

Pupuh sangat banyak dipergunakan dalam repertoar Tembang Sunda. Walaupun demikian dalam lagu sindenan, pupuh banyak dipergunakan dalam kata-kata untuk lagu Ageung. Meskipun telah banyak sajak-sajak bebas yang dipergunakan untuk sekar, bentuk pupuh pun masih banyak dipergunakan. Dalam gending karesmen gaya lama, unsur pupuh sangat dominant sekali. Karya RTA Sunarya, Machyar Anggakusumadinata, Wahyu Wibisana, Ading Affandi, Hidayat Suryalaga, sangat menonjol dalam penggunaan pupuhnya yang diolah dalam gending karesmennya.
Nembang Wawacan adalah salah satu contoh penggunaan pupuh secara utuh dalam penggunaan kata-kata lagunya.

Seandainya pada pupuh dipergunakan juga bentuk-bentuk puisi lain didalamnya seperti paparikan dan wawangsalan, maka istilahnya biasa disebut Paparikan Dangding atau Wawangsalan Dangding.

Nama-nama Pupuh dan contoh rumpakanya: Asmarandana, Dangdanggula, Durma, Balakbak, Gurisa, Gambuh, Kinanti, Lambang, Ladrang, Magatru, Maskumambang, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom, Wirangrong dan Juru Demung..
Contoh Pupuh:

PUPUH KINANTI

Budak leutik bisa ngapung 8 u
Babaku ngapungna peuting 8 i
Kalayang kakalayangan 8 a
Neangan nu amis-amis 8 i
Sarupaning bungbuahan 8 a
Naon bae nu kapanggih 8 i
PUCUNG
Utamana jalma kudu rea batur 12 u
Keur silih tulungan 6 a
Silih titipkeun nya diri 8 i
Budi akal lantaran ti pada jalma 12 a


Keterangan :
Pupuh Kinanti terdiri dari 6 baris (padalisan) dengan guru wilangan (jumlah suku kata) dan guru lagu (huruf hidup pada setiap akhir padalisan adalah: 8 u, 8 i, 8 a, 8 i, 8 a, 8 I, sedangkan Pupuh Pucung terdiri dari 4 padalisan (baris) guru wilangan dan guru lagunya adalah :12 u, 6 a, 8 i/e, 12 a.

2.5. Prosa
Bentuk Prosa digunakan pula untuk keperluan rumpaka Sekar dalam karawitan Sunda. Biasanya penggunaan prosanya berbentuk prosa liris. Hal ini dapat kita temukan dalam nyanyian dongeng anak-anak atau terdapat dalam beberapa bagian ceritera “Pantun”.

Dalam dongeng anak-anak, kita dapat menemukan dalam cerita Si Buncir, yang sebenarnya kalau dikaji merupakan ringkasan cerita dari Si Buncir itu sendiri, yaitu;
Kicik kicik bung gelembung
Budak buncir naheun bubu di curugan
Meunang anak anggay-anggay
Anggay anggayna dipacok hayam
Hayamna katinggang halu
Haluna katincak munding
Mundingna katinggang pakel
Pakelna dituang putri
Nyi putri jadi gantina

Bentuk seperti di atas dapat ditemukan pula pada lagu “Ayang-ayang Gung” dan lagu-lagu kaulinan lainnya.

Dalam ceritera pantun, penggunaan prosa liris dalam lagu banyak terdapat pada bagian-bagian:
a. Lengser Midang
b. Gambaran Kesaktian seseorang
c. Menggambarkan kecantikan
d. Adegan peperangan
Isinya terkadang sangat berlebih-lebihan (superatif), tetapi justru disinilah terdapat nilai-nilai kejenakaan isi cerita itu. Bahkan pada bagian tertentu, terutama pada bagian kata-kata yang berlebihan merupakan aksen-aksen lagu yang penuh dengan dinamika.
Contoh:
Lengser Dangdan
Kai Lengser geuwat dangdan
Dangdan sakadangdan-dangdan
Heubeul ngawula di ratu
Lawas ngawula di menak
Babasan kotok nonggeng
Sabukna ku waring rabig
Badongna ku batok copong
Bajuna kutang tengahan
Iketna wulung di modang
Susumping ku pangrautan
Gogodong ku lumpiang copong
Landean ku bagal jagong
Kerisna ku wiwilahan
Cameti ku rangrang awi.

Lengser Lumpat
Lumpat sakalumpat lampet
Tarik batan mimis bedil
Lepas batan kuda leupas
Ngadudud sarangka duhung
Liang irung mamaungan
Buah birit mani hapa
Balas kasepakan keuneung
Mani eor cecekolan
Eor mumuncanganana
Nya kelek tatarompetan
Palangkakan tetembangan
Munggah eor heheotan
Lain lantung tanpa beja
Manggul piutusan ratu
Ngemban piwarangan menak

LARAS PADA SEKAR

Dalam jalinan melodi lagu Sunda, sekar karawitan Sunda mempergunakan rakitan nada salendro dan pelog, dengan penggunaan beberapa surupan dan laras-laras lainnya. Karawitan berbeda dengan musik diatonis. Perbedaan yang terutama antara lain tentang swarantara (interval) di dalam susunan nada yang tersusun dalam jalur dari satuan gembyangan. Perbedaan itu terlihat pula dari jumlah nada yang terdapat pada pelog dan salendro dibandingkan dengan musik diatonis. Pelog mempunyai sembilan suara dalam satu gembyang (oktaf). Salendro mrmpunyai 17 suara dalam satu gembyang, sedangkan musik 12 suara (nada) dengan kromatiknya. Selain masalah interval, instrumentnya pun berbdea pula. Kita lihat perlengkapan gamelan atau kacapi suling atau kendang penca, jelas sangat berbeda dengan alat-alat musik.
Dengan demikian secara khusus karawitan mempunyai lingkungan, cara pergelaran, alat-alat (waditra), tangga nada, teknik memainkan alat dan lain-lain yang berbeda dengan musik.

Karawitan Sunda mengenal istilah rakitan. Rakitan adalah deretan nada-nada yang telah tertentu frekwensinya, tersusun dalam satu gembyang. Rakitan pada musik lebih dikenal dengan sebuatan tangga nada..

Selain rakitan, dikenal pula istilah laras. Laras adalah deretan nada-nada dalam satu oktaf yang satu sama lain mempunyai perbandingan interval dan frekwensi tertentu.

Laras-laras yang terdapat pada karawitan Sunda antara lain:
a. Laras Pelog
Laras ini mempunyai tiga surupan, yaitu surupan Jawar, Liwung dan Sorog.
Sebenarnya kalau nada Panangis dan Pamiring telah tersusun dalam bilah-bilah gamelan dapat dipastikan penggunaan sembilan surupan dalam laras pelog dapat dipakai (Surupan adalah tinggi
rendahnya nada yang ditentukan dengan nada mutlak dengan frekwensi tertentu)
b. Laras Salendro
Laras ini bercabang lagi dengan laras-laras lainnya, yaitu laras madenda dan laras Degung, Mataraman/Kobongan/Mandalungan. Cabang laras-laras ini tetap berorientasi pada nada-nada dalam salendro yang membedakannya adalah jarak/interval dari nada ke nada masing-masing laras.
c. Laras Rindu
Laras ini berlainan dengan pelog atau salendro. Sampai sekarang laras rindu ini masih dipergunakan oleh masyarakat di daerah Kanekes/Baduy. Kalau kita teliti secara seksama, terasa adanya pendekatan dengan laras salendro, terutama dalam swarantaranya

Dengan keterangan-keterangan yang ada, jelaslah bahwa pengertian karawitan secara khusus lebih berpihak pada rakitan pelog dan salendro dengan interval yang tersendiri dan jumlah nada yang telah tertentu pula jumlahnya.

SISTEM NOTASI SEKAR

Notasi atau serat kanayagan yang dipergunakan dalam karawitan Sunda ialah serat kanayagan Daminatila atau notasi Machyar. Lambang Not yang dipergunakan ialah angka. Daminatila buah karya Rd. Machyar Anggakusumadinata pada tahun duapuluhan. Kata-katanya sendiri diambil dari kalimat; Ada ada minangka pranata-ning laras.

Daminatila (1,2,3,4,5) adalah nada-nada relative, artinya kedudukannya bisa ditempatkan/disamakan/disurupkeun dengan nada apa saja asal yang tersusun dalam nada-nada karawitan Sunda, sedangkan nada-nada pokok biasa disebut nada mutlak. Yang dimaksud dengan nada mutlak itu sendiri adalah nada yang telah tetap susunannya dan tidak bisa berubah kedudukannya. System notasi (serat kanayagan) daminatila dipergunakan untuk semua laras dan surupan yang selalu bertautan dengan susunan nada-nada mutlaknya. Nada-nada mutlak itu tersesusun sebagai berikut:
a. Tugu, Barang, Nem;
b. Kenong, Loloran;
c. Panelu;
d. Bem, Galimer;
e. Singgul, Petit’

Demikianlah nada-nada pokok dalam karawitan Sunda yang terdiri dari lima nada. Susunan nada di atas sama penerpannya dalam laras pelog dan salendro.
Daminatila adalah nada-nada relative, dengan kerelatipannya itu, daminatila bisa disurupkan dengan kelima nada mutlak, umpamanya:
Da = Tugu
Da = Panelu
Da = Galimer
Susunan not angka yang diterapkan pada serat kanayagan daminatila tersusun sebagai berikut:
1 = da
2 = mi
3 = na
4 = ti
5 = la
Berbeda dengan musik yang mempergunakan solmisasi (doremifasolasido) sebagai tangga nada naik, maka serat kanayagan dami natila tangga nadanya adalah tangga nada turun. Jadi deretan nada itu tersusun dari nada tinggi menurun ke nada-nada yang rendah. Hal ini berlaku untuk semua laras dan surupannya,. Untuk jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini.

Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera, legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat kanayagan berarti nada rendah.

Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+), sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada mutlak seterusnya.

Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya. Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka penulisannya tertera 1-

Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval) di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit berjauhan.

Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera, legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat kanayagan berarti nada rendah.

Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+), sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada mutlak seterusnya.

Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya. Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka penulisannya tertera 1-

Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval) di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit berjauhan.

6.1. Sistem Notasi dalam Laras Pelog
Menurut teori Rd. Machyar Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan Rinengga Swara, disebutkan bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan suara. Dari jumlah sembilan suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima yang berlaku sebagai suara lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara hiasan (Uparengga Suara). Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)

Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu

Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na, ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan seterusnya.
Surupan dalam laras Pelog

Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu

Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu. Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D, suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung 1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan Patet Barang sama dengan Sorog.

6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro
Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama, antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda, antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara dari masing-masing nadanya.

a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent, jelasnya lihat susunan salendro padantara berikut ini:

Tb) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara menjadi tiga titik suara. Untuk jelasnya lihat bagan salendro bedantara di bawah ini:

Perbedaan antara Padantara dan Bedantara dilihat secara sepintas kurang begitu jelas, tetapi pada prakteknya sangat terasa sekali, terutama dalam penggunaan surupannya. Dalam buku Pangawikan Rinengga Swara karya Rd. Machyar Anggakusumadinata disebutkan adanya penambahan dua suara dalam salendro bedantara yaitu adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun kedudukan nada Panangis dan Sorog itu sangat berlainan dengan penempatan pada laras pelog. Perhatikan kedudukan dua nada pada penampang di bawah ini:
Dengan adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka salendro ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P

Sekar Tonggeret
da = G
6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda
Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri. (Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada pokok dalam laras Salendro.

Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras. Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya, perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.

Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada pokok salendro ( S,G,P,L,T)

6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.

Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet.
Penampang Laras Degung Tri Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet
Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara, sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.

Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja, gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak berstandar pada ukuran tembang Sunda.Menurut teori Rd. Machyar Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan Rinengga Swara, disebutkan bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan suara. Dari jumlah sembilan suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima yang berlaku sebagai suara lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara hiasan (Uparengga Suara). Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)

Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu

Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na, ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan seterusnya.
Surupan dalam laras Pelog
Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu

Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu. Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D, suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung 1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan Patet Barang sama dengan Sorog.

6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro
Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama, antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda, antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara dari masing-masing nadanya.

a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent,
b) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara menjadi tiga titik suara. Perbedaan antara Padantara dan Bedantara dilihat secara sepintas kurang begitu jelas, tetapi pada prakteknya sangat terasa sekali, terutama dalam penggunaan surupannya. Dalam buku Pangawikan Rinengga Swara karya Rd. Machyar Anggakusumadinata disebutkan adanya penambahan dua suara dalam salendro bedantara yaitu adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun kedudukan nada Panangis dan Sorog itu sangat berlainan dengan penempatan pada laras pelog. Dengan adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka salendro ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P

Sekar Tonggeret
da = G

6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda
Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri. (Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada pokok dalam laras Salendro.

Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras. Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya, perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.
Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada pokok salendro ( S,G,P,L,T)

6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.

Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet.

Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara, sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.

Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja, gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak berstandar pada ukuran tembang Sunda.