(1) Bahasa
Unsur pokok yang terdapat dalam sekar adalah Bahasa dan Rumpaka. Bahasa yang dipergunakan dalam rumpaka lagu Sunda adalah bahasa daerah Sunda sendiri. Tahapan bahasa yang dipergunakan terjalin dalam bentuk halus sampai kasar, tetapi hal ini sangat banyak tergantung dari bentuk sekar dan tingkat lingkungan pendukungnya. Pada dasarnya lingkungan itu banyak bergantung dari cara mengungkapkan atau memformulakan rasa hatinya dengan gaya bahasa yang tersendiri. Sebagai contoh lingkungan Tembang Sunda dan KetukTilu dalam gaya bahasanya mempunyai beberapa perbedaan teknik pengungkapannya. Pada tembang cenderung lebih halus dan untuk mencapai tujuannya sering terselip makna yang terselubung, sedangkan dalam bentuk ketuk tilu sifatnya lebih terbuka untuk lebih cepat ditangkap isinya. Demikianlah faktor lingkungan terasamembawa pengaruh yang tersendiri, baik dari gaya bahasa maupun dari tingkat bahasa yang dipergunakan.
Dalam Kawih dan Kepesindenan, tingkat bahasa boleh dikatakan menyeluruh. Artinya dari bentuk kasar sampai halus dalam pengungkapan bahasa dari lagu-lagunya sering berbaur menjadi satu. Hal ini disebabkan oleh materi lagu-lagu yang dibawakannya. Dalam kawih atau Kepesindenan tidak terbatas oleh lingkungan karena sifat dari pergelarannya itu sendiri dituntut untuk bisa membawa lingkungan secara menyeluruh pula. Sebagai contoh dalam lagu-lagu sindenan pada pergelaran wayang golek, mulai dari rakyat biasa sampai kalangan istana, mendapat bagian untuk diketengahkan. Memang terasa pula ada kaitannya dengan “sejak” lagu yang dipergunakan. Misalnya dalam lagu rerenggongan dan lalamba. Rerenggongan banyak mengetengahkan tema yang lebih khusus dengan mempergunakan pupuh atau puisi bebas. Dalam lagu Kawih, terutama dalam sanggian baru, hampir praktis dengan puisi bebasnya, membawa pengaruh pada bahasa yang dipergunakan di antara bahasa seharihari dan halus.
Selain penggunaan bahasa bahasa Sunda, ada beberapa lagu yang tidak mempergunakan bahasa Sunda, umpamanya bahasa Sunda buhun (yang sudah kurang dimengerti artinya), bahasa Kawi, Bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa asing. Penggunaan bahasa Sunda buhun dapat kita temukan pada lagu-lagu Kaulinan Urang Lembur, misalnya pada lagu “Gala Ginder”, “Jung Jae”, “Angkat Sampeong” dan pada rumpaka lagu “Jangjawokan”
Bahasa Kawi yang termasuk Bahasa Jawa Kuno sering terdapat pada kakawen atau lagu-lagu lalamba pada sindenan serta pada lagu tembang tertentu. Contohnya : rumpaka pada lagu Kastawa.
Pengunaan bahasa Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, sebagai contoh pada Pupuh Durma dan lagu “Jeruk Manis” telah lama dikenal. Tapi kebanyakan memang hanya beranjak dari kreativitas perkembangan. Bahasa lagu dari sanggian Mang Koko banyak mengetengahkan bahasa Indonesia. Biasanya penggunaan bahasa Indonesia tidak diketengahkan secara utuh, tetapi lebih bersifat sisipan saja. Hal ini kita temukan dalam tema-tema humor dan tidak pada bentuk lagu-lagu yang serius. Penggunaan bahasa Indonesia secara utuh dalam lagu dengan dialek Betawi terdapat dalam Gending Karesmen “Nyai Dasimah”
Demikian pula penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Belanda, bahasa Jepang dan bahasa Inggris termasuk bahasa Arab mulai digunakan baik sebagai sisipan maupun secara utuh.
Unsur pokok yang terdapat dalam sekar adalah Bahasa dan Rumpaka. Bahasa yang dipergunakan dalam rumpaka lagu Sunda adalah bahasa daerah Sunda sendiri. Tahapan bahasa yang dipergunakan terjalin dalam bentuk halus sampai kasar, tetapi hal ini sangat banyak tergantung dari bentuk sekar dan tingkat lingkungan pendukungnya. Pada dasarnya lingkungan itu banyak bergantung dari cara mengungkapkan atau memformulakan rasa hatinya dengan gaya bahasa yang tersendiri. Sebagai contoh lingkungan Tembang Sunda dan KetukTilu dalam gaya bahasanya mempunyai beberapa perbedaan teknik pengungkapannya. Pada tembang cenderung lebih halus dan untuk mencapai tujuannya sering terselip makna yang terselubung, sedangkan dalam bentuk ketuk tilu sifatnya lebih terbuka untuk lebih cepat ditangkap isinya. Demikianlah faktor lingkungan terasamembawa pengaruh yang tersendiri, baik dari gaya bahasa maupun dari tingkat bahasa yang dipergunakan.
Dalam Kawih dan Kepesindenan, tingkat bahasa boleh dikatakan menyeluruh. Artinya dari bentuk kasar sampai halus dalam pengungkapan bahasa dari lagu-lagunya sering berbaur menjadi satu. Hal ini disebabkan oleh materi lagu-lagu yang dibawakannya. Dalam kawih atau Kepesindenan tidak terbatas oleh lingkungan karena sifat dari pergelarannya itu sendiri dituntut untuk bisa membawa lingkungan secara menyeluruh pula. Sebagai contoh dalam lagu-lagu sindenan pada pergelaran wayang golek, mulai dari rakyat biasa sampai kalangan istana, mendapat bagian untuk diketengahkan. Memang terasa pula ada kaitannya dengan “sejak” lagu yang dipergunakan. Misalnya dalam lagu rerenggongan dan lalamba. Rerenggongan banyak mengetengahkan tema yang lebih khusus dengan mempergunakan pupuh atau puisi bebas. Dalam lagu Kawih, terutama dalam sanggian baru, hampir praktis dengan puisi bebasnya, membawa pengaruh pada bahasa yang dipergunakan di antara bahasa seharihari dan halus.
Selain penggunaan bahasa bahasa Sunda, ada beberapa lagu yang tidak mempergunakan bahasa Sunda, umpamanya bahasa Sunda buhun (yang sudah kurang dimengerti artinya), bahasa Kawi, Bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa asing. Penggunaan bahasa Sunda buhun dapat kita temukan pada lagu-lagu Kaulinan Urang Lembur, misalnya pada lagu “Gala Ginder”, “Jung Jae”, “Angkat Sampeong” dan pada rumpaka lagu “Jangjawokan”
Bahasa Kawi yang termasuk Bahasa Jawa Kuno sering terdapat pada kakawen atau lagu-lagu lalamba pada sindenan serta pada lagu tembang tertentu. Contohnya : rumpaka pada lagu Kastawa.
Pengunaan bahasa Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, sebagai contoh pada Pupuh Durma dan lagu “Jeruk Manis” telah lama dikenal. Tapi kebanyakan memang hanya beranjak dari kreativitas perkembangan. Bahasa lagu dari sanggian Mang Koko banyak mengetengahkan bahasa Indonesia. Biasanya penggunaan bahasa Indonesia tidak diketengahkan secara utuh, tetapi lebih bersifat sisipan saja. Hal ini kita temukan dalam tema-tema humor dan tidak pada bentuk lagu-lagu yang serius. Penggunaan bahasa Indonesia secara utuh dalam lagu dengan dialek Betawi terdapat dalam Gending Karesmen “Nyai Dasimah”
Demikian pula penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Belanda, bahasa Jepang dan bahasa Inggris termasuk bahasa Arab mulai digunakan baik sebagai sisipan maupun secara utuh.
(2) Rumpaka
Pengertian Rumpaka secara singkat adalah kata-kata yang dipergunakan dalam sekar, tetapi ada juga yang menyebut Dangding atau Guguritan. Khusus mengenai dangding dan guguritan lebih dikenal di kalangan tembang. Para pesinden kiliningan atau wayang cukup memberi istilah kata-kata saja.
Penggunaan rumpaka tidak terbatas pada lirik atau syair saja, tetapi juga epik dramatik dan bentuk puisi lainnya termasuk juga bentuk prosa (prosa liris) masuk didalamnya. Pada perkembangan selanjutnya, sanjak bebas adalah bentuk puisi yang sangat banyak dipergunakan untuk lagu. Mengingat jangkauan yang luas dalam penggunaan rumpaka lagu Sunda, pengamat sastra cenderung menilai kata-kata dalam lagu disebut Sastra Lagu.
Bentuk bentuk sastra lagu yang biasa dipergunakan dalam lagu Sunda, antara lain:
2.1. Puisi
Bentuk-bentuk Puisi : Nyanyian mantra, Dongeng dan permainan anak-anak, Papantunan, jejemplangan, Dedegungan, Sanjak bebas lainnya.
Contoh rumpaka dari mantera:
Asihan aing si burung pundung
Maung pundung datang amum
Badak galak datang depa
Oray bari datang numpi
Burung pundung
Burung cidra ku karunya
Malik welas malik asih
Ka awaking
Curulung cai ti manggung
Barabat ti awang awang
Cai tiis tanpa bina
Mun deuk nyatru ka si itu
Mun deuk kala ka si eta
Anaking palias teuing
Contoh Rumpaka Pupujian:
Anak Adam anjeun di dunya ngumbara
Umur anjeun di dunya teh moal lila
Anak Adam umur anjeun teh ngurangan
Saban poe saban peuting dicontangan
Anak Adam paeh anjeun teh nyorangan
Cul anak salaki jeun babadaan
………………………………………
2.2. Sisindiran
Sisindiran adalah rumpaka yang sangat populer sekali pada pergelaran lagu-lagu kiliningan dan sindenan pada wayang. Begitu pula pada pergelaran lagu-lagu Ketuk Tilu sangat erat bersentuhan dengan lagunya. Kata-kata yang sama dalam sebuah sisindiran berulang kali dipakai dalam lagu yang berbeda-beda. Keistimewaan yang lain dalam penggunaan sisindiran dalam lagu sindenan adalah mengetengahkan beberapa sisindiran dalam satu goongan lagu. Hal ini banyak dilakukan para pesinden dengan jalan membabat sisindiran itu dalam lagu yang cepat. Dengan demikian, terkadang para pesinden bisa mengucapkan enam puluh suku kata dalam satu gongan yang hanya berjumlah enam belas ketukan saja.
Sisindiran terbagi dalam beberapa bagian, antara lain: Rarakitan, Paparikan dan Wawangsalan. Rarakitan bentuknya hampir sama dengan sebutan Pantun dalam sastra Indonesia sedangkan Paparikan bentuknya menyerupai dengan Talibun dalam sastra Indonesia.
Contoh Sisindiran:
Panon poe rek pamitan
Layungna beureum jeung kuning
Unggal poe seuseuitan
Nguyungna hayang ka kuring
Mawa peti dina sundung
Ditumpangan ku karanjang
Pangarti teu beurat nanggung
Tapi mangpaatna panjang
Teu beunang dirangkong kolong
Teu beunang dipikahayang
Nyiruan genteng cangkengna
Masing mindeng pulang anting
2.3. Kakawen
Rumpaka yang digunakan pada kakawen biasanya jarang mempergunakan bahasa Sunda. Pergelarannya lebih terbatas pada pergelaran wayang. Persyaratan puisinya sudah tak menentu lagi. Dalam pergelaran tembang sering digunakan istilah Sebrakan.
Contoh rumpaka pada kakawen:
Gedong duwur kari samun
Pagulingan sepi tingtrim
Pepetetan samya murag
Balingbing lan jeruk manis
2.4. Pupuh
Ada tujuh belas macam pupuh yang berkembang di daerah Sunda. Baik nama maupun peraturan dalam membuat pupuh berbeda satu sama lainnya, begitu pula tentang watak-wataknya. Walaupun jumlah pupuh ada tujuh belas macam yang sangat populer dalam penggunaan untuk rumpaka hanya empat yaitu : Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula (KSAD).
Pupuh sangat banyak dipergunakan dalam repertoar Tembang Sunda. Walaupun demikian dalam lagu sindenan, pupuh banyak dipergunakan dalam kata-kata untuk lagu Ageung. Meskipun telah banyak sajak-sajak bebas yang dipergunakan untuk sekar, bentuk pupuh pun masih banyak dipergunakan. Dalam gending karesmen gaya lama, unsur pupuh sangat dominant sekali. Karya RTA Sunarya, Machyar Anggakusumadinata, Wahyu Wibisana, Ading Affandi, Hidayat Suryalaga, sangat menonjol dalam penggunaan pupuhnya yang diolah dalam gending karesmennya.
Nembang Wawacan adalah salah satu contoh penggunaan pupuh secara utuh dalam penggunaan kata-kata lagunya.
Seandainya pada pupuh dipergunakan juga bentuk-bentuk puisi lain didalamnya seperti paparikan dan wawangsalan, maka istilahnya biasa disebut Paparikan Dangding atau Wawangsalan Dangding.
Nama-nama Pupuh dan contoh rumpakanya: Asmarandana, Dangdanggula, Durma, Balakbak, Gurisa, Gambuh, Kinanti, Lambang, Ladrang, Magatru, Maskumambang, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom, Wirangrong dan Juru Demung..
Contoh Pupuh:
PUPUH KINANTI
Budak leutik bisa ngapung 8 u
Penggunaan rumpaka tidak terbatas pada lirik atau syair saja, tetapi juga epik dramatik dan bentuk puisi lainnya termasuk juga bentuk prosa (prosa liris) masuk didalamnya. Pada perkembangan selanjutnya, sanjak bebas adalah bentuk puisi yang sangat banyak dipergunakan untuk lagu. Mengingat jangkauan yang luas dalam penggunaan rumpaka lagu Sunda, pengamat sastra cenderung menilai kata-kata dalam lagu disebut Sastra Lagu.
Bentuk bentuk sastra lagu yang biasa dipergunakan dalam lagu Sunda, antara lain:
2.1. Puisi
Bentuk-bentuk Puisi : Nyanyian mantra, Dongeng dan permainan anak-anak, Papantunan, jejemplangan, Dedegungan, Sanjak bebas lainnya.
Contoh rumpaka dari mantera:
Asihan aing si burung pundung
Maung pundung datang amum
Badak galak datang depa
Oray bari datang numpi
Burung pundung
Burung cidra ku karunya
Malik welas malik asih
Ka awaking
Curulung cai ti manggung
Barabat ti awang awang
Cai tiis tanpa bina
Mun deuk nyatru ka si itu
Mun deuk kala ka si eta
Anaking palias teuing
Contoh Rumpaka Pupujian:
Anak Adam anjeun di dunya ngumbara
Umur anjeun di dunya teh moal lila
Anak Adam umur anjeun teh ngurangan
Saban poe saban peuting dicontangan
Anak Adam paeh anjeun teh nyorangan
Cul anak salaki jeun babadaan
………………………………………
2.2. Sisindiran
Sisindiran adalah rumpaka yang sangat populer sekali pada pergelaran lagu-lagu kiliningan dan sindenan pada wayang. Begitu pula pada pergelaran lagu-lagu Ketuk Tilu sangat erat bersentuhan dengan lagunya. Kata-kata yang sama dalam sebuah sisindiran berulang kali dipakai dalam lagu yang berbeda-beda. Keistimewaan yang lain dalam penggunaan sisindiran dalam lagu sindenan adalah mengetengahkan beberapa sisindiran dalam satu goongan lagu. Hal ini banyak dilakukan para pesinden dengan jalan membabat sisindiran itu dalam lagu yang cepat. Dengan demikian, terkadang para pesinden bisa mengucapkan enam puluh suku kata dalam satu gongan yang hanya berjumlah enam belas ketukan saja.
Sisindiran terbagi dalam beberapa bagian, antara lain: Rarakitan, Paparikan dan Wawangsalan. Rarakitan bentuknya hampir sama dengan sebutan Pantun dalam sastra Indonesia sedangkan Paparikan bentuknya menyerupai dengan Talibun dalam sastra Indonesia.
Contoh Sisindiran:
Panon poe rek pamitan
Layungna beureum jeung kuning
Unggal poe seuseuitan
Nguyungna hayang ka kuring
Mawa peti dina sundung
Ditumpangan ku karanjang
Pangarti teu beurat nanggung
Tapi mangpaatna panjang
Teu beunang dirangkong kolong
Teu beunang dipikahayang
Nyiruan genteng cangkengna
Masing mindeng pulang anting
2.3. Kakawen
Rumpaka yang digunakan pada kakawen biasanya jarang mempergunakan bahasa Sunda. Pergelarannya lebih terbatas pada pergelaran wayang. Persyaratan puisinya sudah tak menentu lagi. Dalam pergelaran tembang sering digunakan istilah Sebrakan.
Contoh rumpaka pada kakawen:
Gedong duwur kari samun
Pagulingan sepi tingtrim
Pepetetan samya murag
Balingbing lan jeruk manis
2.4. Pupuh
Ada tujuh belas macam pupuh yang berkembang di daerah Sunda. Baik nama maupun peraturan dalam membuat pupuh berbeda satu sama lainnya, begitu pula tentang watak-wataknya. Walaupun jumlah pupuh ada tujuh belas macam yang sangat populer dalam penggunaan untuk rumpaka hanya empat yaitu : Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula (KSAD).
Pupuh sangat banyak dipergunakan dalam repertoar Tembang Sunda. Walaupun demikian dalam lagu sindenan, pupuh banyak dipergunakan dalam kata-kata untuk lagu Ageung. Meskipun telah banyak sajak-sajak bebas yang dipergunakan untuk sekar, bentuk pupuh pun masih banyak dipergunakan. Dalam gending karesmen gaya lama, unsur pupuh sangat dominant sekali. Karya RTA Sunarya, Machyar Anggakusumadinata, Wahyu Wibisana, Ading Affandi, Hidayat Suryalaga, sangat menonjol dalam penggunaan pupuhnya yang diolah dalam gending karesmennya.
Nembang Wawacan adalah salah satu contoh penggunaan pupuh secara utuh dalam penggunaan kata-kata lagunya.
Seandainya pada pupuh dipergunakan juga bentuk-bentuk puisi lain didalamnya seperti paparikan dan wawangsalan, maka istilahnya biasa disebut Paparikan Dangding atau Wawangsalan Dangding.
Nama-nama Pupuh dan contoh rumpakanya: Asmarandana, Dangdanggula, Durma, Balakbak, Gurisa, Gambuh, Kinanti, Lambang, Ladrang, Magatru, Maskumambang, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom, Wirangrong dan Juru Demung..
Contoh Pupuh:
PUPUH KINANTI
Budak leutik bisa ngapung 8 u
Babaku ngapungna peuting 8 i
Kalayang kakalayangan 8 a
Neangan nu amis-amis 8 i
Sarupaning bungbuahan 8 a
Naon bae nu kapanggih 8 i
Kalayang kakalayangan 8 a
Neangan nu amis-amis 8 i
Sarupaning bungbuahan 8 a
Naon bae nu kapanggih 8 i
PUCUNG
Utamana jalma kudu rea batur 12 u
Keur silih tulungan 6 a
Silih titipkeun nya diri 8 i
Budi akal lantaran ti pada jalma 12 a
Keterangan :
Pupuh Kinanti terdiri dari 6 baris (padalisan) dengan guru wilangan (jumlah suku kata) dan guru lagu (huruf hidup pada setiap akhir padalisan adalah: 8 u, 8 i, 8 a, 8 i, 8 a, 8 I, sedangkan Pupuh Pucung terdiri dari 4 padalisan (baris) guru wilangan dan guru lagunya adalah :12 u, 6 a, 8 i/e, 12 a.
2.5. Prosa
Bentuk Prosa digunakan pula untuk keperluan rumpaka Sekar dalam karawitan Sunda. Biasanya penggunaan prosanya berbentuk prosa liris. Hal ini dapat kita temukan dalam nyanyian dongeng anak-anak atau terdapat dalam beberapa bagian ceritera “Pantun”.
Dalam dongeng anak-anak, kita dapat menemukan dalam cerita Si Buncir, yang sebenarnya kalau dikaji merupakan ringkasan cerita dari Si Buncir itu sendiri, yaitu;
Kicik kicik bung gelembung
Budak buncir naheun bubu di curugan
Meunang anak anggay-anggay
Anggay anggayna dipacok hayam
Hayamna katinggang halu
Haluna katincak munding
Mundingna katinggang pakel
Pakelna dituang putri
Nyi putri jadi gantina
Bentuk seperti di atas dapat ditemukan pula pada lagu “Ayang-ayang Gung” dan lagu-lagu kaulinan lainnya.
Dalam ceritera pantun, penggunaan prosa liris dalam lagu banyak terdapat pada bagian-bagian:
a. Lengser Midang
b. Gambaran Kesaktian seseorang
c. Menggambarkan kecantikan
d. Adegan peperangan
Isinya terkadang sangat berlebih-lebihan (superatif), tetapi justru disinilah terdapat nilai-nilai kejenakaan isi cerita itu. Bahkan pada bagian tertentu, terutama pada bagian kata-kata yang berlebihan merupakan aksen-aksen lagu yang penuh dengan dinamika.
Contoh:
Lengser Dangdan
Kai Lengser geuwat dangdan
Dangdan sakadangdan-dangdan
Heubeul ngawula di ratu
Lawas ngawula di menak
Babasan kotok nonggeng
Sabukna ku waring rabig
Badongna ku batok copong
Bajuna kutang tengahan
Iketna wulung di modang
Susumping ku pangrautan
Gogodong ku lumpiang copong
Landean ku bagal jagong
Kerisna ku wiwilahan
Cameti ku rangrang awi.
Lengser Lumpat
Lumpat sakalumpat lampet
Tarik batan mimis bedil
Lepas batan kuda leupas
Ngadudud sarangka duhung
Liang irung mamaungan
Buah birit mani hapa
Balas kasepakan keuneung
Mani eor cecekolan
Eor mumuncanganana
Nya kelek tatarompetan
Palangkakan tetembangan
Munggah eor heheotan
Lain lantung tanpa beja
Manggul piutusan ratu
Ngemban piwarangan menak
Keur silih tulungan 6 a
Silih titipkeun nya diri 8 i
Budi akal lantaran ti pada jalma 12 a
Keterangan :
Pupuh Kinanti terdiri dari 6 baris (padalisan) dengan guru wilangan (jumlah suku kata) dan guru lagu (huruf hidup pada setiap akhir padalisan adalah: 8 u, 8 i, 8 a, 8 i, 8 a, 8 I, sedangkan Pupuh Pucung terdiri dari 4 padalisan (baris) guru wilangan dan guru lagunya adalah :12 u, 6 a, 8 i/e, 12 a.
2.5. Prosa
Bentuk Prosa digunakan pula untuk keperluan rumpaka Sekar dalam karawitan Sunda. Biasanya penggunaan prosanya berbentuk prosa liris. Hal ini dapat kita temukan dalam nyanyian dongeng anak-anak atau terdapat dalam beberapa bagian ceritera “Pantun”.
Dalam dongeng anak-anak, kita dapat menemukan dalam cerita Si Buncir, yang sebenarnya kalau dikaji merupakan ringkasan cerita dari Si Buncir itu sendiri, yaitu;
Kicik kicik bung gelembung
Budak buncir naheun bubu di curugan
Meunang anak anggay-anggay
Anggay anggayna dipacok hayam
Hayamna katinggang halu
Haluna katincak munding
Mundingna katinggang pakel
Pakelna dituang putri
Nyi putri jadi gantina
Bentuk seperti di atas dapat ditemukan pula pada lagu “Ayang-ayang Gung” dan lagu-lagu kaulinan lainnya.
Dalam ceritera pantun, penggunaan prosa liris dalam lagu banyak terdapat pada bagian-bagian:
a. Lengser Midang
b. Gambaran Kesaktian seseorang
c. Menggambarkan kecantikan
d. Adegan peperangan
Isinya terkadang sangat berlebih-lebihan (superatif), tetapi justru disinilah terdapat nilai-nilai kejenakaan isi cerita itu. Bahkan pada bagian tertentu, terutama pada bagian kata-kata yang berlebihan merupakan aksen-aksen lagu yang penuh dengan dinamika.
Contoh:
Lengser Dangdan
Kai Lengser geuwat dangdan
Dangdan sakadangdan-dangdan
Heubeul ngawula di ratu
Lawas ngawula di menak
Babasan kotok nonggeng
Sabukna ku waring rabig
Badongna ku batok copong
Bajuna kutang tengahan
Iketna wulung di modang
Susumping ku pangrautan
Gogodong ku lumpiang copong
Landean ku bagal jagong
Kerisna ku wiwilahan
Cameti ku rangrang awi.
Lengser Lumpat
Lumpat sakalumpat lampet
Tarik batan mimis bedil
Lepas batan kuda leupas
Ngadudud sarangka duhung
Liang irung mamaungan
Buah birit mani hapa
Balas kasepakan keuneung
Mani eor cecekolan
Eor mumuncanganana
Nya kelek tatarompetan
Palangkakan tetembangan
Munggah eor heheotan
Lain lantung tanpa beja
Manggul piutusan ratu
Ngemban piwarangan menak
hebring!!
ReplyDeleteSae pisan, kang Kos. Lajengkeun, abdi ngiring mulungan..
ReplyDelete