Sunday, May 23, 2010

KARAWITAN SEKAR

Pengertian
Yang dimaksud dengan karawitan vokal atau lebih dikenal dalam karawitan Sunda dengan istilah Sekar ialah seni suara yang dalam substansi dasarnya mempergunakan suara manusia. Tentu saja dalam penampilannya akan berbeda dengan bicara biasa yang juga mempergunakan suara manusia. Sekar merupakan pengolahan yang khusus untuk menimbulkan rasa seni yang sangat erat berhubungan langsung dengan indra pendengaran. Dia sangat erat bersentuhan dengan nada, bunyi atau alat-alat pendukung lainnya yang selalu akrab bertdampingan

Pada kehidupan orang Sunda pada masa lalau sejak mereka lahir secara tidak langsung telah didekatkan dengan alunan sekar. Sejak mereka lahir sang ibu menimang, meninabobokan dengan menggunakan sekar. Dalam mengajak bermain, dalam tahap-tahap mulai belajar bicara, belajar berjalan, sekar sangat sering didengarkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Itulah sebabnya lagu-lagu dalam meninabobokan atau ngayun ngambing anak selalu populer dari masa ke masa, dalam arti kelestariannya terlihat karena selalu dilakukan dari generasi ke generasi.

Seperti telah diterangkan di atas, sekar mempunyai kedudukan yang tersendiri dalam kehidupan karawitan, walaupun pada dasarnya sekar berbeda dengan bicara biasa, sekar sangat dekat bahkan terkadang sangat dominant dengan lagam bicara atau dialek. Dialek Cianjur, Garut, Ciamis, Majalengka dalam mengungkapkan percakapan seringkali seolah-olah bermelodi seperti bernyanyi. Oleh karena kesan dialek yang sangat erat itulah kiranya banyak orang luar daerah Sunda yang secara tidak langsung menyebutkan bahwa cara bicara orang Sunda seperti bernyanyi. Memang erat dengan penggunaan kata-kata di dalamnya tetapi kata-kata dalam sekar telah diolah sedemikian rupa sehingga berbentuklah penampilan secara utuh menjadi sebuah komposisi lagu. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata dalam kedudukan sekar merupakan salah satu alat pengungkap masalah atau tema yang diketengahkan. Kata yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai lagu/melodi, menurut kehendak rasa seni si pencipta itu sendiri. Akan tetapi tanpa disadari bahwa terkadang dalam kehidupan sekar tidak selalu dipergunakan kata secara utuh, sering terdengar suara bunyi dijadikan lagu. Hal ini sering terjadi dalam lagu-lagu tertentu, misalnya hanya mempergunakan bunyi a saja atau nang neng nong atau hm dan lain-lain. Penggunaan kata yang tidak jelas sering didapati apabila bersenandung atau ngahariring/hariring.

Dari kesimpulan itu, dapatlah ditarik beberapa hal yang sangat erat bertalian dengan sekar, yaitu: Lagam bicara dialek adalah khas daerah tertentu dalam berbicara sehari-hari yang dari ungkapannya dapat kita tarik satu garis melodi yang sangat erat bertalian dengan nada. Contoh dapat ditemukan dalam kata Punten, Masya Allah di daerah Cianjur. Khusus untuk lagam bicara ini dalam gending karesmen, sering ditemukan teknik bernyanyi dan lagu yang dipergunakan dalam dialog yang secara utuh mempergunakan lagam bicara. Hanya dalam pengungkapannya dilakukan lagam bicara. Jadi, dia berbicara dalam nada. Sifatnya kebanyakan datar atau melengking tinggi. Lagu yang demikian dikenal dengan sebutan sekar biantara (nyanyian bicara). Dalam pergelaran wayang golek sangat terasa sekali dalam memerankan/antawacana tokoh-tokoh tertentu yang selalu mempergunakan lagu bicara, sangat terasa pula dalam nyandra.

Contoh kata-kata yang sangat lekat dengan lagu dalam lagam bicara antara lain:
a) Pun……ten
b) Sorangan bae yeuh…….!
c) Tunjuk-tunjuk hey, sakali deui…hey!

Dalam pergelaran wayang golek, hal ini akan terasa pada tokoh Semar, misalnya pada biantara di bawah ini:
Aduh aduh ngeran
Sumangga ieu abdi lurah Semar Kudapawana nyanggakeun sembah pangbakti
Ageung alit kalepatan mugia ngahapunten, Ngeran……..

Beberapa sebutan yang berkaitan dengan sekaran

Ngahariring (Senandung)
Sifat dari ngahariring biasanya dibawakan secara halus sekali, pemakaian kata dalam lagu lebih menonjol kata bunyi. Pengertian halus disini lain sekali dengan dinamika lagu. Halus dalam membawakan hariring adalah makna dari sikap yang cenderung bernyanyi untuk diri sendiri. Ngahariring dalam kehidupan sehari-hari sangat erat hubungannya dengan pengisi jiwa sambil bekerja. Ngahariring dapat bersifat improvisasi ataupun lagu yang telah ada. Kata bekerja lain dari ngaharirirng adalah bersenandung dengan volume suara yang halus, lunak agar penampilannya itu tidak berisik sehingga mengganggu orang lain. Sering pula hal ini terjadi bila seseorang sedang mempelajari lagu yang belum dikuasai. Suasana ngahariring timbul lebih cenderung dalam keadaan gembira sambil bekerja. Dalam penampilannya, ngahariring dapat saja menjadi lain, hal ini tergantung dari kalimat yang dipergunakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ngahariring adalah bernyanyi hanya ungkapannya lebih dalam untuk diri sendiri atau dengan kata lain kesannya lebih subjektif.

Ngahaleuang
Pada dasarnya ngahaleuang berarti bernyanyi. Haleuang berarti nyanyian/sekar. Kalau dilihat dari sifat penyajiannya ngahaleuang terasa lebih terbuka, lebih keluar dan lantang. Jadi, pengaruh terhadap surupan itu sendiri sangat kuat sekali. Lagu-lagu Tembang sangat jarang ditafsirkan sebagai ngahaleuang. Dilihat dari tempo lagu, biasanya istilah ngahaleuang banyak mempergunakan tempo sedang.
Galindeng
Kata Galindeng erat sekali dengan sekar, bahkan sering sekali menunjukan arti suara dari seorang penyanyi yang biasanya lebih tepat pada suara-suara yang empuk, halus. Ngagalindeng artinya suara (nyanyian) yang dibawakan secara penuh perasaan, terutama pada suara-suara (bagian melodi) yang penuh dengan mamanis (kembangan-kembangan)

Babaung
Penempatan kata babaung adalah tahap kata yang kasar untuk bernyanyi. Biasanya kalau suaranya tidak enak atau membetulkan agar nyanyiannya dilakukan yang benar. Itu pun terbatas pada kelakar atau sindiran tertentu saja, dilakukan pada orang yang lebih muda atau sesama yang sudah akrab.

Kakawihan dan Tetembangan
Walaupun pada dasarnya Tembang dan Kawih berbeda lagam, pengertian kakawihan dan tetembangan mempunyai arti yang sama. Kakawihan atau Tetembangan ialah menyanyikan lagu dengan cara-cara seenaknya, cenderung mengisi suasana untuk diri sendiri. Sebagai contoh ketika sedang mandi, sedang berdandan, melakukan pekerjaan dan lain-lain. Lagunya yang telah hapal atau sering pula diberi improvisasi-improvisasi spontan.

PEMBAGAIN SEKAR

Pembagian Sekar Menurut Bentuk
Menurut bentuk ditinjau dari penggunaan irama, karawitan sekar dibagi dua bagian besar yaitu : * Sekar Irama Merdeka (bebas irama) dan Sekar Tandak (ajeg, tetap)
Sekar Irama Merdeka
Yang dimaksud dengan sekar irama merdeka ialah sekar (vokal, nyanyian) yang dalam membawakan lagunya tidak terikat oleh irama. Panjang pendeknya dalam membawakan lagu, terutama pada bagian-bagian frase lagu (kenongan, goongan) bebas menurut keinginan juru sekar itu sendiri. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa kebebasan itu bisa berlanjut panjang tanpa ketukan sama sekali, ketukan masih tetap ada, hanya sifatnya semu yang bersatu dalam ungkapan perasaan pada waktu membawakan lagunya. Para tokoh tembang lebih cenderung menyebutnya dengan istilah wirahma.

Lagu-lagu yang dibawakan sekar irama merdeka biasanya bersifat lagu anggana (solo) dengan melodi lagu yang masih bisa dikembangkan oleh pribadi-pribadi penyanyi terutama dalam menghias mamanis-mamanisnya. Mamanis-mamanis itu akan terasa pada senggol-senggol atau pedotan kenongan dan goongan lagu. Dikenal beberapa istilah seperti : Leot, Cacag, Galasar, Reureueus, Gedag dan lain-lain.

Materi-materi sekar yang terdapat pada kelompok sekar irama merdeka antara lain: Tembang, Beluk, Kakawen.

TEMBANG

Tembang Sunda sangat populer sekali dalam masyarakat Sunda. Tembang Sunda dikenal sebagai musik kamar (kamermuziek). Cirri khas dalam iringan tembang Sunda adalah iringan kacapi sulingnya. Pada awalnya Tembang Sunda hidup dalam lingkungan menak-menak (elite). Isi ungkapan yang diketengahkan dalam tembang Sunda antara lain tentang:
a. Sanjungan terhadap leluhur, terutama pada kejayaan dan “tilemnya” kerajaan Pajajaran
b. Keindahan-Keindahan alam Priangan
c. Ungkapan percintaan. Tema percintaan yang diketengahkan banyak gambaran tentang seseorang yang jatuh cinta atau merasa sakit hati karena dikhianati cintanya.
Tembang sangat erat bersentuhan dengan kesusatraan. Satu hal yang paling menojol adalah Pupuh. Ada beberapa pendapat bahwa kehadiran dan perkembangan tembang banyak tali-temalinya dengan pengaruh pupuh yang masuk pada jaman Mataram dahulu. Walaupun demikian, banyak pula yang tidak mempergunakan pupuh sebagai “ugeran” (patokan) untuk rumpakanya (syair lagu), yaitu dengan mempergunakan bentuk papantunan. Bahkan pada perkembangan sekarang, tidak menutup kemungkinan menggunakan sajak-sajak bebas. Dari kekebasan penggunaan rumpaka atau iringan, terbetiklah bentuk lain yang lebih bersifat style (gaya), diantaranya dikenal dengan nama-nama: Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan. Sedangkan lagam-lagam dari Tembang Sunda diketahu ada Lagam Cianjura, Ciawian, Cigawiran, Garutan, Sumedangan.

Memang demikianlah bahwa nama daerah itu akhirnya yang menjadi nama dari lagam-lagam itu. Kalau kita lihat dari penyajian karawitan memang terdapat kebedaan-kebedaan yang cukup menyolok. Misalnya saja antara bentuk Cianjuran dan Ciawian. Perbedaannya banyak pula dipengaruhi oleh penggunaan laras. Cianjuran kebanyakan berlaras pelog, sedangkan Ciawian banyak mempergunakan laras salendro. Hal lain banyak terletak pada interpretasi ungkapan lagu. Sekaligus membedakan dalam menempatkan unsure-unsur mamanis didalamnya.

Kalau masyarakat luas lebih banyak mengenal Tembang Cianjuran tentunya bukan berpijak pada nilai-nilai yang terkandung dalam kedua lagam itu, tetapi dari histories penyebarannya, lagam Cianjuran ternyata lebih meluas. Sampai-sampai ada keinginan untuk menyebut tembang Sunda itu sebagai tembang Cianjuran saja.

Beberapa nama lagu dalam Tembang Sunda: Papatet, Mupu Kembang, Jemplang Titi, Liwung, Asmarandana Degung, Jemplang Karang dan lain-lain.

Dalam sekar tembang Sunda Cianjuran, yang menjadi ciri utamanya adalah ornamentasi atau dongkari. Dongkari adalah teknik menghasilkan suara yang diolah dengan cara tertentu guna memberikan mamanis pada lagu. Dalam praktik vokal tembang Sunda Cianjuran, kedudukan dongkari sangat penting karena merupakan dasar utama bagi vokal tembang Sunda Cianjuran. Oleh sebab itu, materi ini perlu diberikan terlebih dahulu sebagai dasar pijakannya. Apabila semua dongkari ini sudah dapat dikuasai dengan baik, maka untuk mempelajari lagu-lagu selanjutnya tidak akan sukar. Sekurang-kurangnya, dongkari dalam vokal tembang Sunda Cianjuran terdiri dari 17 macam yaitu: riak, reureueus, gibeg, kait, inghak, jekluk, rante/beulit, lapis, gedag, leot, buntut, cacag, baledog, kedet, dorong, galasar, dan golosor. Untuk lebih jelasnya, ketujuh belas dongkari tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Riak
Menurut Kamus Umum Basa Sunda, riak artinya nimbulkeun cahaya nu siga ombak-ombakan (menimbulkan cahaya seperti gelombang). Sedangkan menurut Bakang Abubakar, istilah riak sama dengan istilah ombak banyu yang artinya gelombang air (Sarinah l994:121). Adapun teknik penyuaraan dongkari riak yaitu mengeluarkan getaran suara pada nada yang tetap yang menyerupai gelombang air. Getaran suara dikeluarkan tanpa tekanan, tetapi secara halus tanpa terputus. Contoh: 5 artinya nada 5 (la) dibunyikan dengan halus tanpa terputus menyerupai gelombang air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lagu Papatet baris pertama, yaitu:
5 . 5 . 5 5 . 5 54 5 . 5451 2
Pa- ja - jaran ka-ri nga- ran

( 2 ) Reureueus
Reureueus pada umumnya digunakan oleh para penembang untuk menamakan semua jenis dongkari dalam tembang Sunda Cianjuran. Namun demikian istilah reureueus yang digunakan Euis Komariah memiliki pengertian yang berbeda. Reureueus adalah salah satu macam dongkari yang pada prinsipnya sama dengan riak. Sedikit yang membedakannya yaitu teknik penyuaraan pada dongkari riak tidak mendapat tekanan, sedangkan teknik penyuaraan reureueus yaitu getaran suara yang dikeluarkan pada nada yang tetap mendapat tekanan. Contoh: 5, dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lagu Papatet baris kedua, contoh:

2 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2 15
Pangra- ngo geus narik ko- lo - t
( 3 ) Gibeg
Gibeg menurut Kamus Umum Basa Sunda artinya yaitu ngobahkeun awak ka gigir make tanaga sarta rikat (menggerakkan badan ke samping dengan gerak cepat). Teknik penyuaraan dongkari gibeg yaitu mengeluarkan suara pada nada yang tetap disertai tekanan, dan dilakukan dengan gerak cepat seolah-olah digibegkeun. Sebagai contoh dapat dilihat pada frase pembuka lagu wanda papantunan, sebagai berikut:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng

( 4 ) Kait
Kait artinya sama dengan nyangkol yaitu menempel keras karena lilitan tali. Dalam istilah dongkari tembang Sunda Cianjuran, istilah kait mengandung pengertian yaitu gabungan dua buah nada dari nada tinggi ke nada rendah di mana nada pertama dongkari kait menempel/sama dengan nada sebelumnya, kemudian diikuti oleh satu nada yang lebih rendah. Teknik penyuaraannya yaitu bunyi terakhir dari suku kata yang akan diikuti oleh dongkari kait, dibunyikan kembali sebagai jembatan untuk membunyikan suku kata berikutnya. Sebagai contoh dapat dilihat pada frase pembuka lagu wanda papantunan, yaitu:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng

( 5 ) Inghak
Istilah inghak diambil dari peristiwa menangis yang diterapkan pada dongkari tembang Sunda Cianjuran. Teknik penyuaraannya yaitu pada waktu membunyikan suku kata yang mengandung vokal huruf hidup (a, i, u, e, o), udara sedikit dikeluarkan dengan diberi tekanan sehingga menghasilkan suara yang bunyinya seperti /h/. Diusahakan posisi bibir tidak bergerak saat mengeluarkan udara. Contoh:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu - eung diajar lu- deu- ng
( 6 ) Jekluk
Dongkari jekluk yaitu gabungan dua buah nada dari nada rendah ke nada tinggi. Misalnya dari nada 1 ke 5, 4 ke 3. Sebelum membunyikan dongkari jekluk, senantiasa diawali oleh nada yang lebih rendah. Misalnya dari nada 1 ke nada 5, senantiasa diawali dengan nada 2. Dari nada 4 ke nada 3, senantiasa diawali dengan nada 5. Teknik penyuaraan dongkari jekluk harus menggunakan tenaga perut. Contoh, pada lagu Papatet, baris kedua.

02 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2 15 .
Pangra- ngo geus narik ko- lo - t

( 7 ) Rante/beulit
Dongkari rante/beulit yaitu gabungan dua buah nada atau lebih yang disuarakan dengan cara mengulang nada-nada tersebut sehingga menghasilkan suara yang bila digambarkan menyerupai bentuk spiral atau rante. Contoh dongkari rante/beulit ini bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang yang dibawakan oleh A. Tjitjah pada baris kelima, sebagai beriku:

02 15 5 . 4545 4 51 . 2 2 15 5 2 2 2 321
Nya cada - s cada - s ha -re- ra- ng

( 8 ) Lapis
Dongkari lapis yaitu penyuaraan satu buah nada yang mengikuti nada sebelumnya. dongkari lapis ini seolah-olah mengulang lagi nada yang sudah dibunyikan oleh dongkari lain. Sebagai contoh bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang baris kedua yang dibawakan oleh Euis Komariah, sebagai berikut:

03- 2 2 2 . 1 2 2 2 21 2 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n

( 9 ) Gedag
Dongkari gedag yaitu menyuarakan satu nada yang tetap dengan mendapat tekanan. Nada tersebut seolah-olah disuarakan dua kali (diulang). Penempatan dongkari gedag senantiasa di awal kata. Sebagai contoh bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang baris pertama yang dibawakan oleh Euis Komariah, yaitu

02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 12 0
Payung hiji ku dua - an

( 10 ) Leot
Dongkari leot yaitu gabungan dua buah nada, dari nada tinggi ke nada rendah misalnya dari nada 5 (la) ke nada 1 (da), nada 2 (mi) ke 3 (na), dan seterusnya. Contoh pada lagu Mupu Kembang baris pertama yaitu:

02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 1 2 .
Payung hiji ku dua - an

( 11 ) Buntut
Dongkari buntut pada prinsipnya sama dengan dongkari lapis. Perbedaannya terletak pada penempatannya. Kalau dongkari lapis diletakkan di tengah kata dan senantiasa diikuti lagi dengan dongkari lainnya, sedangkan buntut ditempatkan di akhir kata atau kalimat lagu (frase lagu) dan diikuti oleh satu nada yang lebih tinggi. Contoh bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang baris keempat dan kelima, sebagai berikut:

03- 2 2 . . 2 2 2 1212 2 1 . 5 5 . 54
Nya keusik - keusik ba-re - n-ti - k

02 15 5 . 5554 3451 2 2 15 5 2 2 2 . 21
Nya ca-da - s cada - s hare - ra - ng

( 12 ) Cacag
Dongkari cacag yaitu penyuaraan satu buah nada dengan teknik memberikan tekanan pada nada tersebut secara berulang-ulang dan tidak terputus-putus. Contoh dongkari cacag bisa dilihat pada lagu Jemplang Panganten baris ketujuh.

01 1 222 15 . 3 3 3 3454 23 3454
Kieu ka-ja-di-an- na - na

( 13 ) Baledog
Dongkari baledog yaitu gabungan dua buah nada yang disuarakan tanpa tekanan. Dongkari ini senantiasa ditempatkan mengikuti dongkari lainnya seperti gibeg dan gedag. Sebagai contoh bisa didengar pada lagu Mupu Kembang baris kedua, dan Randegan baris kedua yang dibawakan oleh Euis Komariah.

03- 2 2 2 1 2 2 2 212 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n

0 3- 2 . 2 1 2 12 . 2 15 0 03-3- 2 3-2 . 2 1
Me -la-------k bako di ba - si - sir

( 14 ) Kedet
Dongkari kedet senantiasa ditempatkan di akhir kalimat lagu yang berfungsi untuk madakeun (mengakhiri) lagu. Dongkari ini biasa digunakan dalam lagu wanda jejemplangan. Sebagai contoh bisa dilihat pada frase lagu pembuka wanda jejemplangan berikut ini:
04 4 .4 4 4 34543454 32 . 2 23 . 5
birit leuwi peu - peunta - san
2.1.1.15. Dorong
Dongkari dorong pada dasarnya merupakan dinamika dari suara yang tidak mendapat tekanan menuju nada berikutnya dengan mendapat tekanan. Biasanya dongkari dorong selalu diikuti oleh reureueus. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada lagu Jemplang Panganten baris kedua sebagai berikut:

2 2 2 . 1 2222 15 0
Linta ----------------- ng salira anjeunna
Atau bisa juga dilihat pada lagu Jemplang Cidadap baris kelima sebagai berikut:

02 2 2 2 . 1 2222 15 0
Dirungsi -----------------ng

( 16 ) Galasar
Dongkari galasar yaitu gabungan dua atau tiga buah nada yang disuarakan seperti diayun, tanpa terputus, dan mendapat tekanan. Sebagai contoh dapat dilihat pada lagu Jemplang Cidadap baris pertama berikut ini:
4 3 3 3 3333 32 0 3 3454 23 3 3454 4
Alap-ala----------p nyorang tuna

Contoh lain dapat dilihat pada lagu-lagu wanda papantunan, misalnya pada frase pembuka lagu-lagu wanda papantunan berikut ini:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5
Daweu --------------------ng diajar lu- deu- ng
( 17 ) Golosor
Dongkari golosor yaitu gabungan beberapa nada dengan teknik penyuaraan tanpa tekanan. Wilayah nadanya yaitu dari nada tinggi menuju ke nada rendah. Sebagai contoh bisa dilihat pada lagu Rajamantri baris keenam, yaitu:

3 .2 34545 5
Hanja------kal saumur-umur

BELUK

Karawitan sekar beluk ini sudah langka sekali. Beluk lebih dikenal pada upacara selamatan 40 hari bagi bayi yang baru dilahirkan. Beluk sangat erat dengan pergelaran nembang wawacan. Memang pada dasarnya kesenian beluk hanya menembangkan cerita dalam wawacan yang tersusun ceritanya dalam bentuk puisi terutama pupuh. Wawacan adalah cerita yang disusun menggunakan pupuh dengan maksud untuk dinyanyikan atau didangdingkeun.
Teknik penyajian beluk dibantu oleh juru ilo. Juru ilo dalah orang yang membacakan cerita dalam bentuk prosa (membaca biasa) yang ditujukan kepada penembang beluk untuk bahan kata-kata yang akan dinyanyikannya. Secara spontan dan penuh variasi, juru beluk menyanyikan kata-kata itu. Frekwensi nada yang digunakan adalah nada yang tinggi sehiingga semakin mahir bermain lagu dalam nada-nada yang tinggii makin tinggilah kemampuan ki juru beluk itu.
Teknik bersuara banyak mempergunakan nasal hidung (sengau). Kata-kata yang dinyanyikan sebenarnya kurang begitu jelas terucapkan karena yang lebih penting bagi pendengar adalah teknik-teknik bernyanyinya itu sendiri. Kalau mereka ingin tahu tentang kata-katanya, sebelum dinyanyikan telah disebutkan secara jelas oleh juru ilo.

Beluk sudah dianggap sebagai kesenian buhun (kolot, tua, lama). Penggunaan sekar irama merdekanya memberikan cirri yang tersendiri dari bentuk kesenian rakyat sebab kebanyakan lagu-lagu rakyat Pasundan banyak mempergunakan irama tandak (terikat)

Kalau dilihat dari penyajiannya, dimana ada unsur cerita yang dinyanyikan, maka mungkin sekali dasar-dasar “gending karesmen” di dalam karawitan Sunda banyak berpijak dari perkembangan beluk dengan nembang wawacannya.

KAKAWEN

Kakawen lebih dikenal sebagai nyanyian ki dalang pada waktu pergelaran wayang. Isi kakawen antara lain banyak mengisahkan tentang pergantian babak cerita, karakter tokoh wayang, kemarahan-kemarahan, kedatangan tamu dan kekuatan tokoh wayang dalam mengunggulkan dirinya, misalnya pada ajimat-ajimatnya atau kekuatan lainnya. Pada dasarnya kakawen banyak mempergunakan irama bebas merdeka. Hanya pada bagian-bagian tertentu sajalah terdapat bentuk yang tandak. Inipun masih tidak utuh sebab perpaduan panjang pendeknya lagu masih tergantung kepada ki juru dalang itu sendiri.

Pengaruh kakawen masuk pula secara utuh pada Tembang Sunda lagam Cianjuran. Hanya namanya sudah bukan kakawen lagi melainkan dengan nama sebrakan. Sebrakan ini dinyanyikan setelah lagu dalam laras pelog dan sorog/madenda telah selesai atau disajikan secara khusus.

Motif-motif sekar irama merdeka pada pergelaran wayang digunakan pula oleh beberapa tokoh wayang tertentu yang dalam bicaranya dibawakan dengan lagu, seperti untuk tokoh Semar, Rahwana, Dursasana (patet yang digunakan patet Nem), Sangkuni, Togog, Narada (patet yang digunakan patet Manyura). Hal seperti ini disebut antawacana berlagu.


Dalam penyajiannya, kakawen dapat dibeda-bedakan menjadi
a. Murwa
Adalah sekaran permulaan yang dibawakan dalang dengan rumpaka/bahasa Kawi atau pujangga. (Kakawi-an menjadi Kakawen)
Pada prakteknya Murwa terbagi atas
(1) Murwa Umum
Murwa yang dapat dipergunakan untuk bermacam-macam adegan/jejeran, seperti:
Dene utamaning nata
Berbudi bawa laksana
Lire berbudi mangkana
Lela legawa ing dria
Agung denya paring dana
Anggeganjar saban dina
Lire kang bawa laksana
Anatepi pangandika

(2) Murwa Khusus
Murwa yang hanya digunakan khusus untuk suatu adegan/jejeran. Contohnya:

Lengleng ramya nikang, sasangka kum,enyar mangrenge rumning puri
Mangkin tanpa siring, haleb nikang umah, mas lwir nurub ing langit.
Tekwan sarwa manik, tawingnya sinawung sasat sekar sinuji
Ungwan Banowati ywuna amren lalangen nwang nata Duryudana

b. Nyandra
Prolog dalang yang menggambarkan situasi/keadaan sifat, watak, tata hidup dan kehidupan raja dan masyarakatnya dengan segala yang digarapnya dan sebagainya, contoh:

Sri Nalendra ajujuluk ………(.nama raja yang bersangkutan dari suatu Negara)
Mila kinarya bubukaning carita
Jalaran nagri panjang punjung
Pasirwukir loh jinawi
Gemah ripah kerta raharja

c. Renggan
Sekaran dengan rumpaka yang bertemakan gambaran suatu keadaan yang sedang dihadapi agar lebih jelas dan lebih indah didengar, contoh:

Kayu Agung babar wite
Samia rembel gogonge samia rogol yan pangrange
Sekar mekar ing galihe pandele si pandan arum

d. Sendon
Sekaran yang mempergunakan rumpaka untuk menggambarkan adegan sedih/kesedihan, contoh:

Rebeng rebeng cinanda layan kaherin
Wis pinandak perlambange
Perlambang simungkumi

SEKAR TANDAK

Sekar tandak ialah nyanyian yang terikat oleh ketentuan-ketentuan ketukan dan matra (wiletan, gatra). Dari ikatan ketukan dan matra-matra banyak berdampingan dengan irama lagu yang dipergunakan. Peraturan-peraturan itu sudah merupakan kaidah tersendiri dari bentuk paduan tandak di antara sekar dan gending. Adapun lagu-lagu dalam ragam sekar tandak dapat kita ketahui sebagai berikut.

(1) Sindenan
Kata Sindenan lebih dikenal pada pergelaran wayang dan kiliningan. Disebut sindenan karena yang membawakannya biasa disebut sinden (waranggana, penyanyi wanita). Lagu-lagu yang dibawakan banyak berpangkal pada bentuk klasik dan tradisional. Walaupun demikian, kreasi-kreasi baru banyak pula dibawakan walaupun dalam beberapa hal telah sedikit berubah warnanya. Perubahan itu sebenarnya banyak dipengaruhi oleh teknik warna suara yang telah khas pada tiap pesinden. Kebanyakan lagu-lagu sinden adalah lagu anggana. Kalau ada beberapa yang bersifat rampak biasanya bersifat kreasi saja. Dalam beberapa penampilan tertentu sindenan mempunyai lagam daerah tersendiri. Lagam itu lebih cenderung disebut pula sebagai gaya (style). Ada dua bagian besar gaya dalam kepesindenan, yaitu: gaya Priangan dan gaya Kaleran.

Yang dimaksud dengan gaya Priangan adalah yang melingkupi daerah Bandung dan sekitarnya, termasuk Priangan Timur. Daerah kaleran antara lain daerah-daerah pesisir utara, seperti Cirebon, Subang dan Karawang.

Salah satu perbedaan yang paling jelas bila kita bandingkan dengan daerah Priangan adalah dalam senggol, dialek dan laras-larasnya. Mengenai hal laras, sindenan gaya Cirebon lebih banyak mempergunakan lagu laras pelog surupan sorog dengan patet Manyuro. Perbedaannya dengan gaya Karawangan banyak terletak pada dialek bahasa dan pada senggol-senggol yang lebih sederhana. Perbedaan dalam senggol terkenal dengan istilah buntut dan buntet. Priangan pada akhir lagu selalu panjang (buntut), sedangkan rata-rata pada senggol kaleran (Subang, Karawang) lebih pendek (buntet). Tetapi karena adanya pembauran, maka sekarang sudah sangat sukar dibedakannya karena baik Cirebon, Karawang maupun Subang sudah melihat Bandung sebagai barometernya. Secara langsung mereka kehilangan kekhasannya. Sebaliknya gaya Prianganpun banyak pula berakibat pada gaya kaleran, terutama Karawang yang lebih banyak diwarnai dengan iringan tepak jaipongan.

Pada dasarnya lagu-lagu sinden banyak mempergunakan laras salendro. Lagu-lagu ageng yang pertama mereka pelajari kebanyakan lagu lagu ageng yang berlaras salendro. Mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa pendapat di kalangan para nayaga yang menyebutkan bahwa salendro merupakan “rajana laras”

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan ialah lagu-lagu sindenan selalu diiringi dengan gamelan salendro. Walaupun dalam beberapa hal dibawakan lagu yang tidak berlaras salendro, pirigan (iringan) tetap menggunakan laras salendro dengan mengambil jalur tumbuk. Tumbuk ialah nada-nada yang sama dari laras yang berbeda. Nama-nama lagu sindenan antara lain : Macan Ucul, Senggot, Kulu Kulu Bem, Tablo, Gawil, Kawitan, Badaya, Papalayon Ciamis dan lain sebagainya

(2) Kawih
Salah satu lagam dari khazanah seni suara Sunda. Pengertian kawih pada mulanya sama dengan sindenan, tetapi perkembangan memecah kedudukan yang berbeda antara kawih dan sindenan. Perbedaan itu bukan saja terletak pada pergelaran dan teknik-teknik bernyanyi saja, melainkan juga lingkunganna.

Menurut pengamatan yang bersumber pada buku Siksa Kandanf Karesian tahun 1518, masyarakat Sunda telah mengenal kawih dahulu sebelum tembang (pupuh) masuk pada zaman Mataram (abad XVI). Cuplikan dari buku itu mengatakan bahwa telah dikenal bermacam-macam kawih, anatara lain:
Ø Kawih Tangtung
Ø Kawih Panjang
Ø Kawih Lalangunan
Ø Kawih Bongbongkaso
Ø Kawih Parerane
Ø Kawih Sisindiran
Ø Kawih Bwatuha
Ø Kawih Babatranan
Ø Kawih Porod Eurih
Ø Kawih Sasambatan
Ø Kawih Igel-igelan

Ahli seni suara biasa disebut paraguna. Jelaslah bahwa lagam kawih jauh telah lama hidup dalam khazanah karawitan Sunda. Masalahnya sekarang bahwa hal yang tertera di atas hanya merupakan nama saja karena sudah sangat jarang sekali orang-orang yang tahu tentang lagu-lagu kawih yang disebutkan tadi.

Lagu-lagu kawih lebih banyak berorientasi pada lagu-lagu perkembangan (kreasi baru), sedangkan pada lagu sindenan adalah lagu-lagu klasik dan tradisional. Memang yang paling menonjol sekarang pada kawih ialah segi perkembangan lagu-lagu barunya. Lagu-lagu itu lebih banyak bergerak pada lingkungan pendidikan dan kaum remaja tertentu. Hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan, dimana lagu-lagu kawih banyak diciptakan oleh para juru sanggi (komponis) secara khusus untuk kebutuhan program pengajaran. Tokoh-tokoh seperti Rd. Machyar Anggakusumadinata, Mang Koko, OK Jaman, Ujo Ngalagena, Nano. S dan lain-lain membuat buu-buku pelajaran seni suar dalam bentuk kawih.

Kawih berkembang bukan pada bentuk anggana saja, melainkan mulai berkembang pula pada bentuk-bentuk lain, yaitu dengan bentuk-bentuk paduan suara.

Kawih mempunyai “sejak” yang tersendiri. Hal ini bisa kita perhatikan dari pergelarannya, iringannya dan teknik bernyanyi termasuk didalamnya pemanis-pemanis. Laras-laras kawih dalam lagu-lagu remaja kebanyakan berlaras pelog dan madenda. Laras salendro terasa sangat jarang sekali. Hal ini banyak bersumber pada kreativitas para juru sangginya yang memang sangat jarang menciptakan lagu-lagu dalam laras salendro. Lagam kawih yang terdapat pada tembang adalah pada lagu panambih (ekstra). Lagu panambih adalah lagu tambahan setelah sekar irama merdeka, irama yang dipergunakan tandak. Perbedaan yang menyolok hanya soal surupan saja, dimana kalau tembang surupan rendah (da = G), sedangkan kalau lagam kawih lebih tinggi surupannya (da = A = 440 Hz).

(3) Ketuk Tilu
Lagu-lagunya kebanyakan berirama tandak. Cirri khas dari lagu ketuk tilu adalah dalam iringannya serta melodi lagu yang melengking tinggi dengan warna suar penyanyi wanita yang lincah segar. Keunikan dari penampilan lagu ketuk tilu banyak diwarnai pula dengan kehadiran senggak. Ketuk tilu tanpa senggak rasanya sepi sekali. Keakraban ini telah menjalin suatu warna yang khas yang memberikan warna kemeriahan dan suasana pedesaan (lembur). Senggak adalah suara manusia yang tidak beraturan untuk meramaikan suasana.
Laras-laras yang dipergunakan dalam lagu ketuk tilu kebanyakan laras salendro. Sangat sedikit sekali yang mempergunakanlaras pelog atau madenda. Laras salendro dipergunakan pada ketuk tilu, semarak membawa warna pedesaan, dimana lagu-lagu rakyat banyak dihias dengan warna-warna salendro. Lagu-lagu ketuk tilu buhun sampai kini tetap lestari, tetapi dalam perkembangan akhir-akhir ini banyak lagu-lagu ketuk tilu yang diubah larasnya ke dalam laras degung dan sekaligus diiringi gamelan degung. Tentu saja dalam penjiwaannya kurang sesuai karena lingkungan degung dan ketuk tilu jauh berbeda. Tetapi karena beberapa hal, antara lain rumpaka, teknik menyanyikan, surupan sudah sedemikian rupa diolah ke dalam bentuk kawih, maka tidak jarang orang menganggap seolah-olah lagu itu merupakan ciptaan baru. Nama-nama lagu ketuk tilu yang populer dan terkenal sampai sekarang, antara lain : Polostomo, Geboy, Gaya, Cikeruhan, Bardin.
Penyanyi ketuk tilu mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu mereka harus bisa bernyanyi sambil menari (panggilannya disebut; Ronggeng). Isi lagu-lagu ketuk tilu banyak mengetengahkan sindiran-sindiran cinta atau pikatan supaya “seseorang” mmberi imbalan materi. Dahulu penyanyi ketuk tilu biasa disebut Ronggeng/Doger. Istilah ini kini jarang dipakai, mungkin karena sebutan itu sendiri sedikit berbau/menyerempet tata susila moral tertentu

(4) Lagu Indria
Biasa pula disebut sekar dolanan atau lagu dolanan untuk anak-anak. Secara tradisi lagu-lagu anak banyak terungkap dalam lagu-lagu kaulinan urang lembur. Lagunya dinamis dan sangat akrab dengan gerak. Bahkan dari keakraban itu sendiri berkembang menjadi permainan anak-anak. Pada kesenggangan sore hari, mereka berkumpul, bernyanyi dan bermain. Lagu-lagu yang terkenal seperti Cing cangkeling, Perepet Jengkol, Sasalimpetan, Slep Dur dan lainnya, kebanyakan berlaras Salendro.

Pada perkembangan selanjutnya, lagu anak-anak banyak yang merupakan sanggian-sanggian baru. Laras-laras yang dipergunakan sudah tidak lagi dominant oleh laras salendro saja, tetapi pelog, madenda dan degungpun masuk didalamnya. Bahkan dari jumlah buku-buku nyanyian yang pernah diterbitkan, kebanyakan berupa lagu anak-anak, seperti: Kawih Murangkalih, Sari Arum sanggian Rd. Machyar Anggakusumadinata, Resep Mamaos, Taman cangkurileung, Seni suara Sunda, Sekar Mayang, Bincarung sanggian mang Koko, Sekar Ligar kumpulan uUo Ngalagena. Tercatat khusus untuk kegiatan lagu kawih anak-anak, Mang Koko membuat Yayasan Cangkurileung yang anggota-anggotanya terdiri dari murid-murid sekolah dasar dan lanjutan di seluruh Jawa Barat, setelah mang Koko meninggal dunia kegiatan di sekolah-sekolah dasar dan lanjutan menjadi berkurang.

Beberapa cirri tertentu dari lagu anak-anak, antara lain:
A. Melodi dan Ritme yang sederhana
B. Jangkauan interval suara dan tinggi rendah nada yang terbatas
C. Tema lagu yang banyak berorientasi pada kehidupan anak-anak, seperti permainan, kebersihan, sopan santun dan lain-lain.

Khusus untuk lagu-lagu permainan Mang Koko dan MO Koesman mengolah secara khusus dalam buku Taman Bincarung dengan laras yang dipergunakan salendro. Dalam buku ini selain mereka belajar lagu juga diajarkan teknik permainan yang bersumber dari tema lagu. Istilah yang dipakai disebut Gerak Indriya Bincarung.

Selain bentuk-bentuk kawih dalam lagu anak-anak, juga lagu pupuh yang berjumlah 17, diajarkan sebagai dasar-dasar tembang Sunda. Kebanyakan pupuh-pupuh itu dalam bentuk rancagan, artinya tidak banyak diberi variasi seperti halnya lagu-lagu tembang yang lain.

(5) Lagu-Lagu Rakyat
Lagu yang telah merakyat dan populer di masyarakat. Masalahnya sekarang akan batas kurun waktu. Umpamanya berapa tahun lagu itu bisa digolongkan sebagai lagu rakyat. Memang diketahui bahwa kebanyakan lagu-lagu rakyat anonim dan telah lama hidupnya. Ada pula yang diketahui pengarangnya, diketahui populernya lagu itu dan kini telah menjelma menjadi sebutan lagu rakyat. Dengan demikian, kurun waktu untuk pengertian lagu-lagu rakyat bukan merupakan suatu jaminan sebab banyak lagu-lagu yang telah lama justru hilang dan tidak diketahui oleh umum.

Kebanyakan lagu-lagu rakyat hidup di kalangan lagu anak-anak. Lagu ini seiring dengan gerak-gerak permainan. Lagu-lagu rakyat biasanya lebih sederhana, tidak berliku-liku dalam melodinya. Sifatnya spontan. Gambaran lagu kalau dilihat dari tema-temany adalah permainan, kelakuan seseorang, perjuangan dan lain-lain. Dalam beberapa hal sering didapati bahwa kata-katanya itu tidak diketahui/dimengerti. Lagu-lagu rakyat Sunda banyak yang tidak diketahui maksudnya. Bahkan generasi sekarang hanya mengenal lagunya saja, tanpa mengetahui isi dari kata-katanya.

Di kota-kota besar lagu-lagu rakyat itu sudah sangat jarang diketahui oleh anak-anak. Mungkin dalam beberapa hal mereka merasa asing. Kalaupun ada, mereka mendengar dari hasil rekaman yang telah banyak diolah ke dalam tangga nada diatonis. Apa yang sering dikumandangkan oleh remaja-remaja sekarang tentang lagu rakyat pengolahannya sudah diatonis. Dari penampilan mereka terkadang dirasakan menjadi sangat asing, karena interpretasi mereka terhadap lagu rakyatnya sudah sangat lain sekali. Kelainan mereka itu mungkin karena dua hal. Pertama karena tangga nadanya sudah diatonis, kedua karena mereka hanya tahu dari mulut ke mulut tanpa mempelajari secara khusus dengan pengertiannya sekaligus.

Lagu-lagu rakyat yang masih populer hingga sekarang antara lain: Cing cangkeling, Ayang-ayang gung, Pacublek-cublek uang, Ambil-ambilan, Sorban Palid, Es Lilin, Warung Pojok dan lain sebagainya..

Kebanyakan dari lagu-lagu rakyat yang erat hubungannya dengan gerak-gerak dan permainan, mempergunakan laras salendro, sedangkan beberapa lagu yang sebenarnya tidak erat dengan permainan mempergunakan laras pelog atau madenda.

Lagu-lagu rakyat akan terus berkembang selama para kreatornya terus berkreasi. Hanya mungkin dari sekian jumlah ciptaannya paling-paling hanya beberapa buah saja yang akan sangat populer dan merakyat di masyarakat. Contohnya lagu Es Lilin dan Warung Pojok yang bisa menembus untuk diakui sebagai lagu rakyat (Lagu-lagu ini diketahui penciptanya).


(6) Lagu Pupujian
Lagu berbentuk syair berisi tentang pengajaran agama Islam, nasihat, puji kepada Allah, salawat untuk serta do’a, Lagu pupujian tanpa menggunakan iringan sering dibawakan di masjid atau madrasah, biasa sebelum dilaksanakan shalat, ceramah dan kegiatan lainnya. Saat ini lagu-lagu pupujian berbahasa Sunda (Tagoni, Qasidah) telah berkembang pesat dengan bentuk dan nama yang baru seperti “Nasyid”, penyajiaanya tidak hanya di masjid atau madrasah, tetapi telah pula ditempat-tempat keramaian, termasuk dalam perayaan keagamaan, khitanan, pernikahan dan lain sebagainya. Mang Koko dengan Rumpaka dari RAF banyak membuat lagu-lagu Pupujian ini, seperti lagu Hamdan, Ajilu, Shalawat Bani Hasim, dsbnya.

PENYAJIAN SEKAR

Berdasarkan kepada penyajiannya, sekar dapat dibagi menjadi: Anggana Sekar, Rampak Sekar, Layeutan Suara, Sekar Catur, Drama Suara.

Anggana Sekar
Sekar yang dibawakan oleh satu orang. Penyanyi sekar secara mandiri ini bermacam-macam namanya; dalam Tembang disebut Juru Mamaos atau Penembang, dalam kawih biasa disebut juga Juru Sekar/Juru Kawih, dalam kiliningan biasa disebut Sinden, dan pada Ketuk Tilu Buhun disebut Ronggeng. Nama-nama itu adalah nama-nama yang mandiri dan biasanya ditujukan kepada penyanyi wanita. Penyanyi pria lebih dikenal dengan sebutan Wira Swara.

Lagu-lagu klasik kebanyakan bersifat anggana, jarang sekali dibawakan secara bersama, kecuali telah mendapat sentuhan kreatifitas untuk disajikan menjadi bentuk lain. Keistimewaan lagu-lagu anggana adalah kebebasan dalam berimprovisasi, terutama dalam pengisian mamanis/ornament/dongkari. Makin tinggi teknik-teknik dalam pengolahan sekar, maka makin semaraklah lagu itu. Tentu saja dalam beberapa hal harus diperhatikan adu manisnya agar dalam mengolah lagu itu tidak menjadi berlebihan.

Rampak Sekar
Nyanyian yang sama dalam satu tahap suara dibawakan bersama-sama. Rampak Sekar sangat populer pada lagu-lagu Kawih. Lingkungan yang banyak mengetengahkan lagu-lagu rampak sekar adalah para pelajar. Hal ini sebenarnya berlanjut dari system klasikal dalam pelajaran bernyanyi di kelas. Sebelum mengenal istilah rampak sekar (Rampak=Bersama, Sekar=Nyanyian) terlebih dahulu dikenal istilah Panembrama. Pada dasarnya rampak sekar maupun panembrama sama saja. Lagu yang dibawakan satu tahap suara. Perbedaan hanya terletak pada pemilihan lagu-lagunya. Dalam Panembrama jiwa lagunya kebanyakan mengambil lagu-lagu yang mempunyai gerakan anca, isi rumpakanya menggambarkan kegembiraan, ucapan selamat kepada para tamu dan maksud dari diselenggarakan pergelaran. Lagunya antara lain Kadewan.

Dalam rampak sekar tema lagu dan sanggiannya lebih berpariasi, bisa bernafaskan kepahlawanan, cinta tanah air, keindahan alam dan lain sebagainya. Istilah Karatagan (Mars) sering digunakan mengawali judul lagu untuk menggambarkan tema kepahlawanan.
Rampak Sekar kebanyakan diiringi dengan waditra Kacapi, apabila menggunakan iringan gamelan maka biasa disebut Gerongan.

Layeutan Swara
Karena pada mulanya rampak sekar itu merupakan lagu yang dibawakan dalam satu tahap suara saja, maka perkembangan kreasi baru terasa menuntut lain tentang pengertian ini. Apa yang dikatakan rampak sekar sekarang sudah tidak lagi mengetengahkan satu tahap suara saja, tetapi sudah berkembang menjadi dua tahap, tiga tahap bahkan empat tahap suara. Untuk bentuk penyajian lagu yang demikian maka lahirlah istilah Layeutan Suara. Istilah ini banyak dipopulerkan oleh kreasi-kreasi Mang Koko. Layeutan Suara identik dengan istilah Paduan Suara dalam musik.

Jumlah peserta layeutan suara dapat berjumlah dari 10 orang sampai 30 orang. Jumlah itu tidak tetap, bisa dikembangkan menurut kebutuhannya. Pada perkembangan sekarang, lagu-lagu Sunda sudah bisa diketengahkan dalam suatu aubade, dimana jumlah penyanyinya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Untuk istilah layeutan suara, Pak Machyar Anggakusumadinata menyebutnya dengan istilah Pra Lagam (banyak lagamnya). Contoh:

Sekar Catur
Lagu yang dibawakan secara berdialog disebut Sekar Catur (Sekar=nyanyian, Catur=ceritera, obrolan). Bentuk seperti ini sangat banyak sekali. Pada lagam sindenan, lagam kawih, lagu sekar catur ini sangat dikenal sekali. Begitu pula pada bentuk jenaka Sunda. Para kanca Indihiang pimpinan Mang Koko pada tahun empat puluhan menjadi pelopor dalam pengembangan bentuk lagu-lagu sekar catur.

Bentuk lagu Sekar Catur ini biasanya mempunyai tema masalah. Masalahnya dapat diambil dari kehidupan sehari-hari, problem suami istri, percintaan atau kritikan-kritikan terhadap kepincangan yang ada di masyarakat. Ungkapan lagu yang dinyanyikan dalam tekniknya mempergunakan jalur Sekar Biantara, artinya nyanyian yang dinyanyikan dalam lagam bicara, jadi fungsi pemanis-pemanis lagu tidak terlalu menonjol karena beberapa hal kejelasan kata-kata dalam lagu sangat penting sekali.

Drama Suara
Ceritera yang dibawakan dengan media suara sebagai penghantarnya. Drama Suara ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Gending Karesmen. Berbeda dengan bentuk lagu sekar catur, maka dalam bentuk drama swara sekar atau vocal secara langsung mendominasi ungkapan yang akan diketengahkan kepada penontonnya.

Dalam drama suara, sekar mempergunakan berbagai laras. Transposisi dan modulasi sangat kaya sekali dalam bentuk ini. Juru Sekar dituntut kemampuan yang lebih sebagai pemain drama suara. Selain mempunyai suara yang baik, dituntut pula kemampuan “pemeranan” (gerak, acting, menari, menghapal naskah, dan sebagainya).

Semua bentuk sekar dapat diketengahkan dalam bentuk drama suara, baik tembang, kawih, ketuk tilu maupun sindenan. Tetapi ada pula drama suara yang hanya mengetengahkan salah satu bentuk sekaran saja, misalnya drama suara dalam media tembang. Namun ada beberapa kekurangan yang harus diperhatikan apabila drama suara hanya mengambil bentuk tembang saja yaitu:
(1) Lagam dialog yang terlalu mementingkan mamanis, sehingga berakibat kurang terarah pada tema ceritra atau ungkapan dialog itu sendiri untuk diketahui maksudnya.
(2) Takaran jiwa tembang yang telah mengendap secara khusus. Dalam hal ini sering terjadi pemerkosaan terhadap jiwa lagu dari tembang itu sendiri karena kebutuhan dialog yang diungkapkan.
(3) Surupan yang terlalu rendah dan motif lagu yang monoton kurang memberi suasana terhadap jalur ceritera yang diketengahkan. Hal ini akan terasa pada nafas-nafas kemarahan yang terkadang kurang terjangkau oleh tembang.

Drama suara yang baik sebenarnya cenderung untuk disanggi secara khusus. Apabila akan menambahkan beberapa lagu tradisi atau bentuk sekar lainnya, alangkah baiknya apabila jiwa lagu itu disesuaikan dengan kata-katanya. Drama suara merupakan cirri khas dari karawitan daerah Sunda (Jawa Barat)

Saturday, May 22, 2010

BAHASA DAN RUMPAKA

(1) Bahasa
Unsur pokok yang terdapat dalam sekar adalah Bahasa dan Rumpaka. Bahasa yang dipergunakan dalam rumpaka lagu Sunda adalah bahasa daerah Sunda sendiri. Tahapan bahasa yang dipergunakan terjalin dalam bentuk halus sampai kasar, tetapi hal ini sangat banyak tergantung dari bentuk sekar dan tingkat lingkungan pendukungnya. Pada dasarnya lingkungan itu banyak bergantung dari cara mengungkapkan atau memformulakan rasa hatinya dengan gaya bahasa yang tersendiri. Sebagai contoh lingkungan Tembang Sunda dan KetukTilu dalam gaya bahasanya mempunyai beberapa perbedaan teknik pengungkapannya. Pada tembang cenderung lebih halus dan untuk mencapai tujuannya sering terselip makna yang terselubung, sedangkan dalam bentuk ketuk tilu sifatnya lebih terbuka untuk lebih cepat ditangkap isinya. Demikianlah faktor lingkungan terasamembawa pengaruh yang tersendiri, baik dari gaya bahasa maupun dari tingkat bahasa yang dipergunakan.

Dalam Kawih dan Kepesindenan, tingkat bahasa boleh dikatakan menyeluruh. Artinya dari bentuk kasar sampai halus dalam pengungkapan bahasa dari lagu-lagunya sering berbaur menjadi satu. Hal ini disebabkan oleh materi lagu-lagu yang dibawakannya. Dalam kawih atau Kepesindenan tidak terbatas oleh lingkungan karena sifat dari pergelarannya itu sendiri dituntut untuk bisa membawa lingkungan secara menyeluruh pula. Sebagai contoh dalam lagu-lagu sindenan pada pergelaran wayang golek, mulai dari rakyat biasa sampai kalangan istana, mendapat bagian untuk diketengahkan. Memang terasa pula ada kaitannya dengan “sejak” lagu yang dipergunakan. Misalnya dalam lagu rerenggongan dan lalamba. Rerenggongan banyak mengetengahkan tema yang lebih khusus dengan mempergunakan pupuh atau puisi bebas. Dalam lagu Kawih, terutama dalam sanggian baru, hampir praktis dengan puisi bebasnya, membawa pengaruh pada bahasa yang dipergunakan di antara bahasa seharihari dan halus.

Selain penggunaan bahasa bahasa Sunda, ada beberapa lagu yang tidak mempergunakan bahasa Sunda, umpamanya bahasa Sunda buhun (yang sudah kurang dimengerti artinya), bahasa Kawi, Bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa asing. Penggunaan bahasa Sunda buhun dapat kita temukan pada lagu-lagu Kaulinan Urang Lembur, misalnya pada lagu “Gala Ginder”, “Jung Jae”, “Angkat Sampeong” dan pada rumpaka lagu “Jangjawokan”
Bahasa Kawi yang termasuk Bahasa Jawa Kuno sering terdapat pada kakawen atau lagu-lagu lalamba pada sindenan serta pada lagu tembang tertentu. Contohnya : rumpaka pada lagu Kastawa.
Pengunaan bahasa Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, sebagai contoh pada Pupuh Durma dan lagu “Jeruk Manis” telah lama dikenal. Tapi kebanyakan memang hanya beranjak dari kreativitas perkembangan. Bahasa lagu dari sanggian Mang Koko banyak mengetengahkan bahasa Indonesia. Biasanya penggunaan bahasa Indonesia tidak diketengahkan secara utuh, tetapi lebih bersifat sisipan saja. Hal ini kita temukan dalam tema-tema humor dan tidak pada bentuk lagu-lagu yang serius. Penggunaan bahasa Indonesia secara utuh dalam lagu dengan dialek Betawi terdapat dalam Gending Karesmen “Nyai Dasimah”
Demikian pula penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Belanda, bahasa Jepang dan bahasa Inggris termasuk bahasa Arab mulai digunakan baik sebagai sisipan maupun secara utuh.
(2) Rumpaka
Pengertian Rumpaka secara singkat adalah kata-kata yang dipergunakan dalam sekar, tetapi ada juga yang menyebut Dangding atau Guguritan. Khusus mengenai dangding dan guguritan lebih dikenal di kalangan tembang. Para pesinden kiliningan atau wayang cukup memberi istilah kata-kata saja.

Penggunaan rumpaka tidak terbatas pada lirik atau syair saja, tetapi juga epik dramatik dan bentuk puisi lainnya termasuk juga bentuk prosa (prosa liris) masuk didalamnya. Pada perkembangan selanjutnya, sanjak bebas adalah bentuk puisi yang sangat banyak dipergunakan untuk lagu. Mengingat jangkauan yang luas dalam penggunaan rumpaka lagu Sunda, pengamat sastra cenderung menilai kata-kata dalam lagu disebut Sastra Lagu.

Bentuk bentuk sastra lagu yang biasa dipergunakan dalam lagu Sunda, antara lain:
2.1. Puisi
Bentuk-bentuk Puisi : Nyanyian mantra, Dongeng dan permainan anak-anak, Papantunan, jejemplangan, Dedegungan, Sanjak bebas lainnya.
Contoh rumpaka dari mantera:
Asihan aing si burung pundung
Maung pundung datang amum
Badak galak datang depa
Oray bari datang numpi
Burung pundung
Burung cidra ku karunya
Malik welas malik asih
Ka awaking

Curulung cai ti manggung
Barabat ti awang awang
Cai tiis tanpa bina
Mun deuk nyatru ka si itu
Mun deuk kala ka si eta
Anaking palias teuing

Contoh Rumpaka Pupujian:
Anak Adam anjeun di dunya ngumbara
Umur anjeun di dunya teh moal lila


Anak Adam umur anjeun teh ngurangan
Saban poe saban peuting dicontangan

Anak Adam paeh anjeun teh nyorangan
Cul anak salaki jeun babadaan
………………………………………

2.2. Sisindiran
Sisindiran adalah rumpaka yang sangat populer sekali pada pergelaran lagu-lagu kiliningan dan sindenan pada wayang. Begitu pula pada pergelaran lagu-lagu Ketuk Tilu sangat erat bersentuhan dengan lagunya. Kata-kata yang sama dalam sebuah sisindiran berulang kali dipakai dalam lagu yang berbeda-beda. Keistimewaan yang lain dalam penggunaan sisindiran dalam lagu sindenan adalah mengetengahkan beberapa sisindiran dalam satu goongan lagu. Hal ini banyak dilakukan para pesinden dengan jalan membabat sisindiran itu dalam lagu yang cepat. Dengan demikian, terkadang para pesinden bisa mengucapkan enam puluh suku kata dalam satu gongan yang hanya berjumlah enam belas ketukan saja.

Sisindiran terbagi dalam beberapa bagian, antara lain: Rarakitan, Paparikan dan Wawangsalan. Rarakitan bentuknya hampir sama dengan sebutan Pantun dalam sastra Indonesia sedangkan Paparikan bentuknya menyerupai dengan Talibun dalam sastra Indonesia.

Contoh Sisindiran:
Panon poe rek pamitan
Layungna beureum jeung kuning
Unggal poe seuseuitan
Nguyungna hayang ka kuring

Mawa peti dina sundung
Ditumpangan ku karanjang
Pangarti teu beurat nanggung
Tapi mangpaatna panjang

Teu beunang dirangkong kolong
Teu beunang dipikahayang

Nyiruan genteng cangkengna
Masing mindeng pulang anting

2.3. Kakawen
Rumpaka yang digunakan pada kakawen biasanya jarang mempergunakan bahasa Sunda. Pergelarannya lebih terbatas pada pergelaran wayang. Persyaratan puisinya sudah tak menentu lagi. Dalam pergelaran tembang sering digunakan istilah Sebrakan.

Contoh rumpaka pada kakawen:
Gedong duwur kari samun
Pagulingan sepi tingtrim
Pepetetan samya murag
Balingbing lan jeruk manis

2.4. Pupuh
Ada tujuh belas macam pupuh yang berkembang di daerah Sunda. Baik nama maupun peraturan dalam membuat pupuh berbeda satu sama lainnya, begitu pula tentang watak-wataknya. Walaupun jumlah pupuh ada tujuh belas macam yang sangat populer dalam penggunaan untuk rumpaka hanya empat yaitu : Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula (KSAD).

Pupuh sangat banyak dipergunakan dalam repertoar Tembang Sunda. Walaupun demikian dalam lagu sindenan, pupuh banyak dipergunakan dalam kata-kata untuk lagu Ageung. Meskipun telah banyak sajak-sajak bebas yang dipergunakan untuk sekar, bentuk pupuh pun masih banyak dipergunakan. Dalam gending karesmen gaya lama, unsur pupuh sangat dominant sekali. Karya RTA Sunarya, Machyar Anggakusumadinata, Wahyu Wibisana, Ading Affandi, Hidayat Suryalaga, sangat menonjol dalam penggunaan pupuhnya yang diolah dalam gending karesmennya.
Nembang Wawacan adalah salah satu contoh penggunaan pupuh secara utuh dalam penggunaan kata-kata lagunya.

Seandainya pada pupuh dipergunakan juga bentuk-bentuk puisi lain didalamnya seperti paparikan dan wawangsalan, maka istilahnya biasa disebut Paparikan Dangding atau Wawangsalan Dangding.

Nama-nama Pupuh dan contoh rumpakanya: Asmarandana, Dangdanggula, Durma, Balakbak, Gurisa, Gambuh, Kinanti, Lambang, Ladrang, Magatru, Maskumambang, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom, Wirangrong dan Juru Demung..
Contoh Pupuh:

PUPUH KINANTI

Budak leutik bisa ngapung 8 u
Babaku ngapungna peuting 8 i
Kalayang kakalayangan 8 a
Neangan nu amis-amis 8 i
Sarupaning bungbuahan 8 a
Naon bae nu kapanggih 8 i
PUCUNG
Utamana jalma kudu rea batur 12 u
Keur silih tulungan 6 a
Silih titipkeun nya diri 8 i
Budi akal lantaran ti pada jalma 12 a


Keterangan :
Pupuh Kinanti terdiri dari 6 baris (padalisan) dengan guru wilangan (jumlah suku kata) dan guru lagu (huruf hidup pada setiap akhir padalisan adalah: 8 u, 8 i, 8 a, 8 i, 8 a, 8 I, sedangkan Pupuh Pucung terdiri dari 4 padalisan (baris) guru wilangan dan guru lagunya adalah :12 u, 6 a, 8 i/e, 12 a.

2.5. Prosa
Bentuk Prosa digunakan pula untuk keperluan rumpaka Sekar dalam karawitan Sunda. Biasanya penggunaan prosanya berbentuk prosa liris. Hal ini dapat kita temukan dalam nyanyian dongeng anak-anak atau terdapat dalam beberapa bagian ceritera “Pantun”.

Dalam dongeng anak-anak, kita dapat menemukan dalam cerita Si Buncir, yang sebenarnya kalau dikaji merupakan ringkasan cerita dari Si Buncir itu sendiri, yaitu;
Kicik kicik bung gelembung
Budak buncir naheun bubu di curugan
Meunang anak anggay-anggay
Anggay anggayna dipacok hayam
Hayamna katinggang halu
Haluna katincak munding
Mundingna katinggang pakel
Pakelna dituang putri
Nyi putri jadi gantina

Bentuk seperti di atas dapat ditemukan pula pada lagu “Ayang-ayang Gung” dan lagu-lagu kaulinan lainnya.

Dalam ceritera pantun, penggunaan prosa liris dalam lagu banyak terdapat pada bagian-bagian:
a. Lengser Midang
b. Gambaran Kesaktian seseorang
c. Menggambarkan kecantikan
d. Adegan peperangan
Isinya terkadang sangat berlebih-lebihan (superatif), tetapi justru disinilah terdapat nilai-nilai kejenakaan isi cerita itu. Bahkan pada bagian tertentu, terutama pada bagian kata-kata yang berlebihan merupakan aksen-aksen lagu yang penuh dengan dinamika.
Contoh:
Lengser Dangdan
Kai Lengser geuwat dangdan
Dangdan sakadangdan-dangdan
Heubeul ngawula di ratu
Lawas ngawula di menak
Babasan kotok nonggeng
Sabukna ku waring rabig
Badongna ku batok copong
Bajuna kutang tengahan
Iketna wulung di modang
Susumping ku pangrautan
Gogodong ku lumpiang copong
Landean ku bagal jagong
Kerisna ku wiwilahan
Cameti ku rangrang awi.

Lengser Lumpat
Lumpat sakalumpat lampet
Tarik batan mimis bedil
Lepas batan kuda leupas
Ngadudud sarangka duhung
Liang irung mamaungan
Buah birit mani hapa
Balas kasepakan keuneung
Mani eor cecekolan
Eor mumuncanganana
Nya kelek tatarompetan
Palangkakan tetembangan
Munggah eor heheotan
Lain lantung tanpa beja
Manggul piutusan ratu
Ngemban piwarangan menak

LARAS PADA SEKAR

Dalam jalinan melodi lagu Sunda, sekar karawitan Sunda mempergunakan rakitan nada salendro dan pelog, dengan penggunaan beberapa surupan dan laras-laras lainnya. Karawitan berbeda dengan musik diatonis. Perbedaan yang terutama antara lain tentang swarantara (interval) di dalam susunan nada yang tersusun dalam jalur dari satuan gembyangan. Perbedaan itu terlihat pula dari jumlah nada yang terdapat pada pelog dan salendro dibandingkan dengan musik diatonis. Pelog mempunyai sembilan suara dalam satu gembyang (oktaf). Salendro mrmpunyai 17 suara dalam satu gembyang, sedangkan musik 12 suara (nada) dengan kromatiknya. Selain masalah interval, instrumentnya pun berbdea pula. Kita lihat perlengkapan gamelan atau kacapi suling atau kendang penca, jelas sangat berbeda dengan alat-alat musik.
Dengan demikian secara khusus karawitan mempunyai lingkungan, cara pergelaran, alat-alat (waditra), tangga nada, teknik memainkan alat dan lain-lain yang berbeda dengan musik.

Karawitan Sunda mengenal istilah rakitan. Rakitan adalah deretan nada-nada yang telah tertentu frekwensinya, tersusun dalam satu gembyang. Rakitan pada musik lebih dikenal dengan sebuatan tangga nada..

Selain rakitan, dikenal pula istilah laras. Laras adalah deretan nada-nada dalam satu oktaf yang satu sama lain mempunyai perbandingan interval dan frekwensi tertentu.

Laras-laras yang terdapat pada karawitan Sunda antara lain:
a. Laras Pelog
Laras ini mempunyai tiga surupan, yaitu surupan Jawar, Liwung dan Sorog.
Sebenarnya kalau nada Panangis dan Pamiring telah tersusun dalam bilah-bilah gamelan dapat dipastikan penggunaan sembilan surupan dalam laras pelog dapat dipakai (Surupan adalah tinggi
rendahnya nada yang ditentukan dengan nada mutlak dengan frekwensi tertentu)
b. Laras Salendro
Laras ini bercabang lagi dengan laras-laras lainnya, yaitu laras madenda dan laras Degung, Mataraman/Kobongan/Mandalungan. Cabang laras-laras ini tetap berorientasi pada nada-nada dalam salendro yang membedakannya adalah jarak/interval dari nada ke nada masing-masing laras.
c. Laras Rindu
Laras ini berlainan dengan pelog atau salendro. Sampai sekarang laras rindu ini masih dipergunakan oleh masyarakat di daerah Kanekes/Baduy. Kalau kita teliti secara seksama, terasa adanya pendekatan dengan laras salendro, terutama dalam swarantaranya

Dengan keterangan-keterangan yang ada, jelaslah bahwa pengertian karawitan secara khusus lebih berpihak pada rakitan pelog dan salendro dengan interval yang tersendiri dan jumlah nada yang telah tertentu pula jumlahnya.

SISTEM NOTASI SEKAR

Notasi atau serat kanayagan yang dipergunakan dalam karawitan Sunda ialah serat kanayagan Daminatila atau notasi Machyar. Lambang Not yang dipergunakan ialah angka. Daminatila buah karya Rd. Machyar Anggakusumadinata pada tahun duapuluhan. Kata-katanya sendiri diambil dari kalimat; Ada ada minangka pranata-ning laras.

Daminatila (1,2,3,4,5) adalah nada-nada relative, artinya kedudukannya bisa ditempatkan/disamakan/disurupkeun dengan nada apa saja asal yang tersusun dalam nada-nada karawitan Sunda, sedangkan nada-nada pokok biasa disebut nada mutlak. Yang dimaksud dengan nada mutlak itu sendiri adalah nada yang telah tetap susunannya dan tidak bisa berubah kedudukannya. System notasi (serat kanayagan) daminatila dipergunakan untuk semua laras dan surupan yang selalu bertautan dengan susunan nada-nada mutlaknya. Nada-nada mutlak itu tersesusun sebagai berikut:
a. Tugu, Barang, Nem;
b. Kenong, Loloran;
c. Panelu;
d. Bem, Galimer;
e. Singgul, Petit’

Demikianlah nada-nada pokok dalam karawitan Sunda yang terdiri dari lima nada. Susunan nada di atas sama penerpannya dalam laras pelog dan salendro.
Daminatila adalah nada-nada relative, dengan kerelatipannya itu, daminatila bisa disurupkan dengan kelima nada mutlak, umpamanya:
Da = Tugu
Da = Panelu
Da = Galimer
Susunan not angka yang diterapkan pada serat kanayagan daminatila tersusun sebagai berikut:
1 = da
2 = mi
3 = na
4 = ti
5 = la
Berbeda dengan musik yang mempergunakan solmisasi (doremifasolasido) sebagai tangga nada naik, maka serat kanayagan dami natila tangga nadanya adalah tangga nada turun. Jadi deretan nada itu tersusun dari nada tinggi menurun ke nada-nada yang rendah. Hal ini berlaku untuk semua laras dan surupannya,. Untuk jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini.

Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera, legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat kanayagan berarti nada rendah.

Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+), sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada mutlak seterusnya.

Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya. Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka penulisannya tertera 1-

Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval) di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit berjauhan.

Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera, legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat kanayagan berarti nada rendah.

Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+), sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada mutlak seterusnya.

Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya. Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka penulisannya tertera 1-

Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval) di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit berjauhan.

6.1. Sistem Notasi dalam Laras Pelog
Menurut teori Rd. Machyar Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan Rinengga Swara, disebutkan bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan suara. Dari jumlah sembilan suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima yang berlaku sebagai suara lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara hiasan (Uparengga Suara). Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)

Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu

Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na, ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan seterusnya.
Surupan dalam laras Pelog

Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu

Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu. Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D, suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung 1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan Patet Barang sama dengan Sorog.

6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro
Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama, antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda, antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara dari masing-masing nadanya.

a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent, jelasnya lihat susunan salendro padantara berikut ini:

Tb) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara menjadi tiga titik suara. Untuk jelasnya lihat bagan salendro bedantara di bawah ini:

Perbedaan antara Padantara dan Bedantara dilihat secara sepintas kurang begitu jelas, tetapi pada prakteknya sangat terasa sekali, terutama dalam penggunaan surupannya. Dalam buku Pangawikan Rinengga Swara karya Rd. Machyar Anggakusumadinata disebutkan adanya penambahan dua suara dalam salendro bedantara yaitu adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun kedudukan nada Panangis dan Sorog itu sangat berlainan dengan penempatan pada laras pelog. Perhatikan kedudukan dua nada pada penampang di bawah ini:
Dengan adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka salendro ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P

Sekar Tonggeret
da = G
6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda
Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri. (Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada pokok dalam laras Salendro.

Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras. Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya, perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.

Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada pokok salendro ( S,G,P,L,T)

6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.

Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet.
Penampang Laras Degung Tri Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet
Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara, sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.

Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja, gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak berstandar pada ukuran tembang Sunda.Menurut teori Rd. Machyar Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan Rinengga Swara, disebutkan bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan suara. Dari jumlah sembilan suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima yang berlaku sebagai suara lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara hiasan (Uparengga Suara). Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)

Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu

Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na, ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan seterusnya.
Surupan dalam laras Pelog
Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu

Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu. Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D, suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung 1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan Patet Barang sama dengan Sorog.

6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro
Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama, antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda, antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara dari masing-masing nadanya.

a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent,
b) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara menjadi tiga titik suara. Perbedaan antara Padantara dan Bedantara dilihat secara sepintas kurang begitu jelas, tetapi pada prakteknya sangat terasa sekali, terutama dalam penggunaan surupannya. Dalam buku Pangawikan Rinengga Swara karya Rd. Machyar Anggakusumadinata disebutkan adanya penambahan dua suara dalam salendro bedantara yaitu adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun kedudukan nada Panangis dan Sorog itu sangat berlainan dengan penempatan pada laras pelog. Dengan adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka salendro ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P

Sekar Tonggeret
da = G

6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda
Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri. (Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada pokok dalam laras Salendro.

Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras. Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya, perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.
Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada pokok salendro ( S,G,P,L,T)

6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.

Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap patet.

Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara, sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.

Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja, gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak berstandar pada ukuran tembang Sunda.

Saturday, May 15, 2010

FUNGSI SEKAR

Berbicara mengenai fungsi sekar, bisa ditempatkan dalam dua jalur. Jalur pertama secara khusus dan jalur kedua dimana sekar itu ditempatkan. Hal ini penting sekali untuk lebih menembus tujuan yang lebih mendasar.

Fungsi sekar secara khusus adalah memformulasikan dan mengungkapkan ungkapan perasaan melalui kata dan senandung dengan media seni suara sebagai penghantarnya.
Dalam batasan ini bisa saja fungsi sekar itu untuk diri sendiri. Kadang kala dirasakan bahwa dengan kata-kata biasa tidaklah merasa cukup puas untuk mengemukakan sesuatu, terutama yang bersifat pribadi. Suatu kehendak, angan-angan, suatu pandangan bisa diolah dan lahir dengan lebih luwes melalui seni suara. Memang karena masalahnya telah diramu dengan proses seni, penyampainnya menjadi lain, dalam arti kata ada sesuatu keindahan tersendiri yang terkandung di dalamnya.
Seni suara (Sekar) adalah konsumsi pendengaran, tetapi pengolahan tertentu telah menjadikan sentuhan lebih dalam lagi; dia berbicara antara hati dan hati. Karena itulah keabadian sering mewarnai lagu. Dari ungkapan-ungkapan melalui suara, maka terjelmalah media yang lebih luas untuk mengetengahkan maslah-masalah, baik yang bersifat pribadi maupun masalah umum, dituangkan melalui seni suara. Misi-misi yang terkandung dalam kata-kata lagu bisa melahirkan kegunaan-kegunaan tertentu antara lain:
1) Ajakan-ajakan ke arah nilai-nilai kehidupan. Umpamanya untuk kebersihan, kesehatan, rajin belajar, kegotong royongan, keagamaan, berbakti dan lain-lain
2) Mengetengahkan permainan. Dari ungkapan ini bisa diketahui tentang lagu-lagu permainan yang biasanya sangat erat berhubungan dengan gerak.
3) Memberi semangat juang dan kebangsaan. Dikenal lagu-lagu perjuangan sangat banyak memberi dorongan kepada para pejuang. Demikian pula dengan lagu kebangsaan yang selalu dikumandangkan dalam upacara-upacara resmi. Bahkan lagu-lagu tertentu dijadikan lagu wajib untuk diketahui dan dipahami oleh semua warga Negara (masyarakatnya).
4) Sentuhan kerohanian. Tidak jarang kita mendengar adanya suatu jalinan antara vocal dengan ajaran agama. Sebagi contoh pada lagu pupujian, tagoni, nasyid dan lain-lain.
5) Serpihan kenangan dan cinta. Kiranya ungkapan emosi yang banyak diketengahkan dalam lagu adalah yang paling banyak dikumandangkan. Remaja tanpa lagu cinta seperti sepi adanya. Begitu pula kenangan terhadap tempat dan nama-nama yang memberi arti sering dikumandangkan melalui seni vocal.
6) Membantu proses pengobatan. Seperti tidak mungkin, tetapi demikianlah keadaannya pada perkembangan akhir-akhir ini. Supaya keadaan si sakit itu tenang, dia sering dibantu dengan unsure seni, diantaranya seni vocal. Nyanyian yang tenang dapat menyejukan hati. Bahkan lagu-lagu yang merupakan kenangan yang manis bagi si sakit dengan sengaja diperdengarkan berulang-ulang.

Demikianlah beberapa kekhususan dari kegunaan sekar. Banyak hal yang belum terungkap dari pokok-pokok di atas, tetapi secara global kiranya dapat terjangkau dengan pendekatan tema-tema tertentu.

Selanjutnya fungsi vokal menurut pergelarannya, pergelaran yang akan ditinjau adalah yang menempatkan vokal sebagai penunjang saja atau unsur-unsur pelengkap
Pada pergelaran wayang, sekar berfungsi sebagai:
a. Pengisi hiburan diantara celah-celah antara babak-babak ceritera yang sedang dipergelarkan.
b. Memberi suasana pada adegan-adegan yang sinkron dengan alur ceritera
c. Membantu kakawen yang biasa dibawakan oleh dalang
d. Memberikan “sasminating gending” pada adegan-adegan tertentu
e. Memberikan hiasan-hiasan pada gending iringan dengan improvisasi-improvisasi lagunya.

Dalam iringan tari, misalnya, sekar bisa berfungsi sebagai pemberi suasana pada adegan yang sedang dimainkan. Misalnya saja pada adegan kesedihan, marah dan lain-lain. Hal lain pula sebagai penghantar keterangan tentang cerita dan keadaan tokoh yang sedang dimainkan. Misalnya sedang menceritakan keadaan di Negara Wirata atau memperkenalkan tokoh Srikandi.

Pada Drama Suara, fungsi sekar mutlak adanya. Kemutlakan itu didasarkan bahwa justru ungkapan yang dituangkan melalui cerita itu disampaikan melalui sekar, baik sekar tandak maupun sekar irama merdeka.

Dalam teater rakyat, sekar berfungsi sebagai pelengkap materi pertunjukan. Tetapi dalam beberapa adegan tertentu dia bisa menjadi mutlak adanya apabila si tokoh pemain mempergunakannya sesuai dengan jalur cerita yang harus dinyanyikan. Sekar sebagai pelengkap misalnya pada waktu permainan belum dimulai. Dalam pertunjukan wayang biasa disebut tatalu yang kegunaannya untuk mengumpulkan penonton. Dalam proses ini, di sandiwara rakyat, sekar sering diperdengarkan. Seandainya setelah main, sekar dihidangkan pada pergantian-pergantian adegan. Secara mandiri sekar dalam sandiwara dipergunakan untuk nyarayuda (nyarayuda: ialah meminta sumbangan pada waktu istirahat).

Pada pergelaran ketuk tilu, sekar mempunyai fungsi yang sedikit unik Sekar adalah daya pemikat. Adapun pikatan itu bisa terjalin oleh dua cara:
a. Suara yang indah meliuk tinggi membawa kesegaran yang tersendiri bagi para penontonnya. Apalagi kalau dalam teknik bernyanyinya dibarengi dengan gerak-gerak tari yang memikat erotis.
b. Rumpaka dalam pagelaran ketuk tilu mempergunakan kata-kata cinta. Mengingat bahwa para penonton itu sering tidak menampakkan diri atau sembunyi-sembunyi, maka dengan kata-kata yang menantang dia ungkapkan melalui sekar datang menghampirinya.

Demikianlah beberapa cuplikan kegunaan sekar dalam materi-materi yang terpisah. Fungsi sekar dalam materi yang khusus dari pergelarannya, seperti rampak sekar, kiliningan, bajidoran dan lain-lain, jelas selain merupakan bentuk pertunjukan hiburan dia juga berfungsi sebagai media untuk mengetengahkan seni suara.

Buku-Buku Sekar
Buku-buku yang pernah dicetak/diterbitkan, yang isinya mengetengahkn lagu-lagu vokal/sekar, antara lain:

a. Sari Arum Rd. Machyar Anggakusumadinta
b. Kawih Murangkalih Rd. Machyar Anggakusumadinta
c. Resep Mamaos Mang Koko dan Oeyeng Soewargana
d. Taman Cangkurileung Mang Koko
e. Ganda Mekar Mang Koko
f. Taman Bincarung Mang Koko dan MO Koesman
g. Seni Suara Sunda Mang koko dan P. Nataprawira
h. Pupuh Mang Koko
i. Perkembangan Tembang Kawih Sunda Barmara (OK Yaman dan Ida Ahman)
j. Sekar ligar Ujo Ngalagena, dkk
k. Tembang Sunda Mang Endang
l. Sekar Mayang Mang Koko
m. Tembang Sunda Mang Endang
n. Kawih Tradisional Djoedjoe Sain
o. Haleuang Tandang Nano. S
p. Kawih Degung Djoedjoe Sain